Sewaktu perayaan Imlek itu pula, banyak orang yang percaya pada ramalan, mereka ini akan datang ke wihara untuk itu untuk meminta tahu peruntungannya di tahun yang baru nanti. "Teman saya A Kong yang meramal. Dia sukarela dalam pelayanan ini, tidak matre," ujar Santoso.
Gus Dur
Adakah yang berbeda antara merayakan Imlek di masa kini dengan masa dulu? Sebenarnya tidak, kata Santoso. Semua masa, termasuk era Orde Baru, membolehkan masyarakat Tionghoa merayakan Imlek. Namun, dulu sempat ada beberapa larangan.
"Kami dilarang memasang kaligrafi Cina, semua harus dalam tulisan Indonesia. Merayakan Imlek pun harus di dalam wihara atau rumah pribadi. Tak sampai ke jalanan," kata Santoso lagi.
Era kepemimpinan Gus Dur-lah yang membuat kebebasan kian terbuka. Saat itu, barongsai dan kaligrafi Cina dengan mudah dijumpai di mana-mana.
"Sebenarnya tidak masalah pada masa Orde Baru, namun kami tahu ada beberapa pihak yang tidak suka. Jadi kami lebih baik tidak melakukan apa-apa," kenang Santoso yang mengelola Yayasan Dharma Jaya sejak 1981.
Hanya sepelemperan baru dari Wihara Dharma Jaya, kesibukan menyambut Imlek menyelimuti sejumlah tempat, termasuk sentra-sentra belanja.
Masyarakat yang merayakan Imlek mulai berbondong-bondong berbelanja keperluan Imlek. Mulai lilin merah, hiasan pintu, sampai amplop untuk angpao.
Hampir semua pusat perbelanjaan, dari mewah sampai kaki lima, berusaha meraup rejeki tambahan menjelang Imlek. Perlengkapan bernuansa naga, merah, kuning dan emas dipajang menghiasi beberapa pusat belanja.
Lebih berpasrah