Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa Kebangsaan

Kompas.com - 21/07/2012, 02:12 WIB

Ayat-ayat Tuhan bukan hanya diperjualbelikan makna dan tafsirnya, bahkan fisiknya pun dirampok untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Nyaris, korupsi itu—kalau demikian adanya—telah mencapai jantungnya.

Padahal, kita mafhum puasa sejatinya mengajarkan tentang sikap eskatik (juhud), meginjeksikan kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang kita lakukan. Bahwa apa pun yang kita kerjakan bukan hanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, melainkan juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Kuasa. Puasa menanamkan dalam relung kita keinsafan-keinsafan metafisis seperti ini atau dalam spiritualisme Jawa disebut eling sangkan paraning dumadi.

Rasaning eling melalui lelaku puasa bahkan ditarik ke titik nol. Anuning ning! Ada dalam ketiadaan. Tidak ada, dalam ada. Lahir sekaligus batin, batin sekaligus lahir. Menghindar dari tatapan manusia, bahkan dari mata KPK sekalipun, masih bisa kita lakukan. Akan tetapi, tatapan Sang Kuasa mustahil kita berkelit, Tuhan selalu—meminjam Amir Hamzah—cemburu/Engkau Ganas/Mangsa aku dalam cakarmu//.

Sebuah teladan

Inilah tipologi puasa yang tempo hari diteladankan. Puasa Bunda Maryam melahirkan bayi penebar damai: Isa. Puasa yang dilakukan Musa berdampak rontoknya kekuasaan tiranik Firaun. Puasa yang diteladankan Sidarta Gautama tidak hanya membuat beliau menanggalkan gelanggang politik tengik yang penuh intrik, juga kuasa kembali ke arena kekuasaan dengan akal budi yang tercerahkan. Puasa yang dilakukan Socrates dan santrinya, Plato, dapat mencapai kematangan nalar atau Hipokrates yang memberikan resep kepada pasiennya agar sering berpuasa. Termasuk Pythagoras, yang ternyata Rumus Pythagoras-nya konon diperoleh setelah sebelumnya berpuasa.

Puasa itu pula yang dilakukan Muhammad SAW sehingga dia bukan hanya terampil mengelola kesabaran (puasa setengah dari sabar). Akan tetapi, juga kesabaran yang telah dirawat dan diruwatnya melalui puasa telah membuatnya menjadi pribadi yang bisa berempati kepada sahabat dan juga terhadap mereka yang berlainan haluan keyakinannya.

Puasa yang telah mengantarkannya bukan menjadi ”penguasa”, tetapi menjadi pemimpin egaliter yang dapat menjadi tenda dari keragaman fakta sosial di Madinah. Politik yang dikibarkannya menjadi ilham bagi sebuah gerakan kemanusiaan (humanisasi) yang membawa obor pencerahan (iluminasi), perubahan (transformasi), dan pembebasan (liberasi).

Semoga puasa kali ini tidak hanya menyisakan dahaga, tetapi benar-benar membersitkan inspirasi bagi terbitnya keadaban hidup, sekaligus menjadi ”ideologi kritik” bagi terbenamnya nafsu tamak yang dapat menenggelamkan perahu kebangsaan kita.

Inilah, menurut saya, sejatinya khitah puasa itu.

ASEP SALAHUDIN Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com