Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/10/2012, 09:27 WIB

KOMPAS.com - Di balik senyum teduhnya, Windy pernah mengalami masa-masa pedih. Ia sempat menutup diri dari pergaulan karena keinginannya memiliki momongan. ”Tapi, hidup ini harus berarti. Saya harus berguna bagi anak-anak lain meski mereka tak lahir dari rahim saya,” kata Windy.

"Sedih banget. Tadinya, saya enggak yakin bisa sekuat ini. Pernah jadi orang yang takut menghadapi hidup. Perjalanan berobat ke luar negeri, belasan jam di pesawat, saya hanya tergeletak menangis di pangkuan suami saya,” kata Windy lirih.

Ketika berbincang tentang anak, air mata sesekali masih menggenang di pelupuk mata Windy. Kesedihan justru menjadi titik awal kehidupan baru bagi Windy. Dukungan keluarga besar membuatnya mampu menjalani masa-masa buruk dalam hidup.

Windy lantas bercerita tentang Yayasan Jemima yang dinamai sama seperti bayi yang pernah bertahan tiga bulan di rahimnya. Lewat Yayasan Jemima, ia memiliki sejumlah anak asuh di Pulogadung, Jakarta Timur. Ia membiayai pendidikan anak-anak itu sejak lima tahun terakhir. ”Saya hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan anak-anak itu,” katanya.

Lewat Yayasan Jemima yang didirikannya tahun 2007, Windy juga mendatangkan guru keterampilan seminggu sekali bagi sekitar 50 anak di Pulogadung. Anak-anak asuhnya itu diajari beragam keterampilan, seperti mendaur ulang barang bekas, membordir, dan memayet baju.

Tentu saja Windy melepas riasan wajah dan mengganti sepatu hak tingginya dengan sandal jepit ketika berkunjung dan mengajak anak-anak itu berlibur, di antaranya mengunjungi Dunia Fantasi. ”Yayasan Jemima kini jadi prioritas saya setelah berhenti terapi ingin anak. Saya merasa jadi manusia paling berarti ketika membantu mereka,” tambahnya.

Selain menghibur anak-anak miskin di Pulogadung, Windy juga bersentuhan dengan keluarga mereka. Ia menyediakan diri untuk menampung keluh kesah para ibu muda di kawasan padat penduduk yang sering kali patah hati dan tidak semangat menjalani hidup. Windy sendirian mengelola yayasan itu dengan pendanaan pribadi.

Mayoritas anak-anak itu kini sudah duduk di bangku SMP dan SMA. Seminggu sekali, Windy menyempatkan diri mengunjungi anak-anak asuhnya. Ia selalu membawa oleh-oleh beragam buku bacaan yang biasanya dibeli di Pasar Senen. ”Saya ajak mereka agar berani bermimpi lewat buku,” kata Windy yang dipanggil tante oleh anak-anak asuhnya.  

Ia juga menularkan kebiasaan membaca dengan membagi-bagi buku untuk anak-anak di perempatan jalan raya. Windy sadar betul tentang manfaat buku untuk membuka cakrawala pengetahuan. Dulu, ia menyisihkan uang saku untuk membeli buku setiap dua hari sekali. Ia akan panik jika kakak-kakaknya membicarakan buku yang belum dibacanya.

”Cinderella”
Buku, lukisan, dan jalan-jalan menjadi hiburan yang paling digemari Windy. Ia gemar mengoleksi lukisan yang temanya selalu tentang anak dan perempuan. Ia bisa berjam-jam diam terpaku di depan lukisan yang disukainya.

”Saya penikmat lukisan. Saya nikmati, saya pajang, dan enggak mau dilepas kalau orang lain mau beli,” kata Windy yang lahir di Palembang dan tumbuh besar di Jakarta ini.

Salah satu pelukis yang digemari Windy adalah Jeihan Sukmantoro. Saking cintanya dengan lukisan Jeihan, Windy menjadi duta untuk pelukis Jeihan. Windy juga merupakan satu dari 50 perempuan Indonesia yang dilukis Jeihan.

Tak melulu karya lukisan mahal, Windy sering kali berburu lukisan di pinggir jalan seperti ketika ia berwisata ke Bali. Asalkan nyantol di hati, lukisan itu pasti dibeli oleh Windy.

Dari kecil, Windy tumbuh di lingkungan keluarga dengan aturan ketat sehingga tak membuka cukup banyak ruang untuk bersenang-senang. Ketika masih sekolah, rekan-rekannya sampai menjuluki Windy sebagai si Cinderella. Orangtuanya pasti sudah akan menjemputnya pulang jika ia ke luar rumah hingga lewat pukul sembilan malam. Windy pun dilarang mengikuti kegiatan luar sekolah, seperti menari, atau modeling.

Saking terkekangnya, impiannya sebelum lulus kuliah cukup sederhana, yaitu ingin nonton film midnight. Mimpi itu sempat diwujudkan setelah ia menikah. Tapi, ritme jam biologisnya yang sudah teratur membuatnya tak sanggup melek hingga larut malam. Julukan Cinderella yang harus pulang sebelum tengah malam itu terus melekat hingga ia lulus kuliah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com