Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Ketidaktahuan

Kompas.com - 18/01/2013, 02:37 WIB

Oleh Eddy OS Hiariej

Ignorantia legis excusat neminem. Demikian salah satu postulat dalam ilmu hukum yang dapat diartikan bahwa ketidaktahuan akan undang-undang (hukum) bukan merupakan alasan pemaaf. Mengapa demikian? Postulat tersebut merupakan rangkaian dari postulat sebelumnya, nemo ius ignorare censetur atau iedereen wordt geacht de wet te kennen, yang berarti setiap orang dianggap tahu akan undang-undang (hukum).

Dalam beberapa literatur, postulat ini sering disebut sebagai fiksi hukum. Dirujuk kepada kedua postulat itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 Desember 2012, menimbulkan kontroversi. Lebih kurang SBY menyatakan bahwa pejabat yang tidak begitu memahami korupsi kemudian terjerat kasus itu perlu ”diselamatkan”.

Penjelasan teoretis

Secara substansial pernyataan itu dalam konteks hukum pidana perlu dijelaskan secara teoretis. Ini terkait dengan asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai dasar dapat dipertanggungjawabkan pelaku. Elemen terpenting dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, yang salah satu unsurnya ialah adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan. Sikap batin inilah yang kemudian melahirkan bentuk kesalahan dalam hukum pidana berupa kesengajaan atau kealpaan.

Dalam konteks Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kita miliki terdapat kurang lebih 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan bentuk kesalahan berupa kesengajaan, baik yang disebut secara tegas maupun tidak. Jika elemen kesengajaan disebutkan secara tegas, hal itu harus dibuktikan jaksa penuntut umum. Jika tidak disebutkan, elemen kesengajaan tersebut dianggap telah terbukti jika semua unsur perbuatan itu bisa dibuktikan. Syarat dari kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki karena, dengan demikian, dolus malus atau niat jahat dari pelaku dapat dibuktikan.

Akan tetapi, membuktikan adanya dolus malus tidaklah mudah, terlebih jika perbuatan tersebut dalam artian negatif atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan alias pembiaran. Oleh karena itu, WPJ Pompe dalam Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya dolus malus dalam suatu perbuatan, dapat digunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan berdasarkan kesesuaian fakta-fakta dengan bukti yang valid.

Tidak selamanya pula perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dapat dijatuhi pidana jika terdapat kesesatan di dalamnya. Ada dua kesesatan yang tidak dapat dijatuhi pidana, yakni feitelijke dwaling atau kesesatan fakta dan rechtsdwaling atau kesesatan hukum.

Kesesatan fakta berarti suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Sementara kesesatan hukum berarti melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.

Rechtsdwaling ini masih dibagi lagi menjadi kekeliruan yang dapat dimengerti dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti. Jika dapat dibuktikan, kesesatan fakta dan kesesatan hukum akan memperlihatkan tidak adanya dolus malus pelaku dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya, dia tidak mengetahui dan menghendaki hakikat perbuatan yang dilakukannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com