"Paling rindu masa kecil saya di Laweyan. Tiap pulang sekolah senang sekali ikutan pegawai membatik. Eyang saya sampai nyewa lapangan bola untuk jemur batik. Sampai panjang. Selalu tidak pernah lupa wanginya malam," kata Diah.
Proses membuat batik, menurut Diah, susahnya luar biasa. Ia ingat cara memanaskan malam dengan menggunakan wajan hingga mendidih. Menggunakan canting, malam yang bentuknya mirip lelehan gula jawa itu ditorehkan pada kain mori.
Selain belajar membatik, Diah terbiasa menunggui eyangnya, Haji Malkan Sangidoe, atau ayahnya menghitung kodian batik-batik yang akan dikirim ke seluruh penjuru Nusantara. "Saya tinggal satu halaman, tapi beda rumah dengan eyang. Pabrik batiknya di belakang rumah," tambah Diah.
Setelah eyang dan ayahnya meninggal, bisnis batik masih diteruskan oleh keluarga besar Diah. Lebaran menjadi momentum bagi Diah untuk mengobati kerinduan pada Laweyan. Tiap tahun, ia selalu menghabiskan libur Lebaran di Laweyan sebelum mengunjungi keluarga suaminya di Yogyakarta dan melanjutkan berlibur ke Bali.
Suguhan seperti lontong gudeg dengan sambal goreng menjadi alasan lain sehingga Diah tak pernah melewatkan libur Lebaran di Laweyan. "Enggak pernah enggak pulang kalau Lebaran. Di sini (Jakarta) mau ngapain, keluarga besar ada di Laweyan. Bisa nangis darah di Jakarta, haha...," kata Diah tertawa. (WKM)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.