Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bergoyang Menonton "Ikang"

Kompas.com - 29/09/2013, 19:45 WIB
LABUAN BAJO, KOMPAS.com -- Indonesia International Environmental Film Festival kembali digelar. Penyelenggara festival, Yayasan Ineffest, memilih daerah pesisir sebagai lokasi acara. Nelayan dan warga Pantai Taman Laut Zibiru, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, tertawa menonton film yang mengisahkan kemiskinan keluarga nelayan.

Film itu berjudul Senandung Ikan Baru yang disutradarai Wahda Nurhuda tahun 2010. Film berdurasi 25 menit itu diputar pada hari ketiga, Senin (23/9/2013), di tepi pantai berair bening di seberang permukiman nelayan. Layar putih 10 x 20 meter dibentangkan di atas air berkedalaman sekitar setengah meter. Proyektor digital diletakkan di bibir pantai.

Penonton duduk di atas perahu kecil bermesin tempel 5 PK dari atas air. Atau kalau mau lebih praktis, bisa memilih menikmati film dari bibir pantai dengan risiko gambarnya terbalik.

Menonton dari atas air ini adalah sensasi baru dalam menikmati film. Namanya pantai, gelombang tetap ada walaupun kecil. Makanya, saat angin berembus, perahu bergoyang-goyang. Lama-kelamaan, walau perahu sudah ditambatkan, posisinya bergeser. Tanpa disadari, leher akan menoleh mengikuti arah gerakan kapal.

Namun, kerepotan itu terbayar dengan sensasi yang didapat. Kapan lagi menonton film dinaungi kerlipan bintang dan bulan yang baru melewati masa purnama. Embusan angin malam membuat nuansa menonton film di pantai tak berbeda dengan di bioskop berpendingin ruangan.

Panitia menyediakan beberapa perahu kecil berkapasitas tiga orang yang bersandar di Pelabuhan Labuan Bajo. Dari sana, penonton dibawa menuju Taman Laut Zi Biru yang jaraknya tak lebih dari 1 kilometer. Demi keselamatan, penumpang perahu diwajibkan memakai pelampung.

Selain Senandung Ikan Baru, film yang diputar pada Senin itu antara lain juga Epic Java dan Hai Ly 2010 (Vietnam, 2011). Film utamanya adalah Lukas Moment karya Aryo Danusiri produksi 2005. Dari semua itu, hanya Epic Java yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan pantai.

Film Epic Java (2013) karya Febian Nurrahman Saktinegara adalah film sunyi tanpa narasi, tanpa kata-kata. Gambarnya menampilkan bentang alam yang ada di Pulau Jawa, mulai dari gunung-gunung, pantai, sampai kebudayaannya. Penonton tak banyak berkomentar saat film itu diputar.

Baru pada film Senandung Ikan Baru, celetukan terdengar. Film ini berpusat pada keseharian anak nelayan, Arul dan Fandi, di sebuah pantai di Sulawesi Tengah. Pembuat filmnya seperti hendak menceritakan pendidikan bagi anak keluarga nelayan.

Arul dan Fandi adalah teman sekelas di kelas V sekolah dasar. Arul punya semangat tinggi bersekolah meski orangtuanya harus berutang membayar iuran komite sekolah. Meskipun begitu, Arul harus membantu ayahnya melaut sepulang sekolah. Sang ayah berkeras anak sulungnya harus sekolah. "Pendidikannya harus lebih baik dari saya," kata si ayah dalam bahasa setempat.

Sementara itu, Fandi terpaksa berhenti sekolah. Anak ceking itu mengeluh, "Saya berhenti sekolah gara-gara buku sains," ujarnya. Alkisah, Fandi harus membeli buku sains, mata pelajaran yang ia benci. Ayahnya tak memberi uang karena memang untuk makan sehari-hari saja keluarga itu kesulitan.

"Semua nelayan, di mana saja, punya banyak kebutuhan yang harus dibayar. Ditambah pula harus beli buku sekolah," kata si ayah. Pernyataan bernada suram itu justru mengundang tawa bagi penonton yang sebagian besar adalah penarik perahu yang sehari-harinya juga nelayan. Mungkin mereka sedang menertawai masalah keseharian mereka.

Ayah Fandi mengungkapkan ketergantungannya pada tenaga Fandi. "Dia itu penyelam hebat, jago menangkap ikan, meskipun sering terjerat jala. Sehari saja dia tak ikut ke laut, susah saya," katanya. Penonton kembali tertawa. Pada adegan lain, ibu Fandi juga menceritakan utangnya membeli kayu dan seng untuk memperbaiki atap rumah.

Selain mencari ikan, Fandi juga menjajakan ikan tangkapannya ke pasar sambil berseru, "Ikang baru, ikang baru!" yang berarti ikan tangkapan segar. Seikat ikan dia tawarkan Rp 12.000. Pembeli nyaris tak bisa menawar harganya karena Fandi menawarkan dengan mata sayu yang memelas.

Putar di pulau
Selain memutar film di pantai, Ineffest juga memutarkan film untuk warga Pulau Messah, sekitar 1,5 jam menggunakan kapal dari Labuan Bajo. Pulau berpenduduk sekitar 1.800 jiwa itu menjadi tempat tinggal bagi para nelayan. Rumah-rumah berdinding seng, seperti yang terekam dalam film Senandung Ikan Baru, berdiri di sana. Sebagian masih tegak dan beberapa sudah doyong.

"Angin sering berembus sangat kencang. Pernah ada rumah yang atapnya terbang sampai 20 meter. Untungnya tidak ada yang terluka," kata Hasanudin (26) saat berbincang di bawah rumah panggungnya. Banyak penduduk yang menaruh dipan di bawah rumah. Itulah tempat yang paling teduh saat siang sangat terik dan berangin. Tak ada pohon rindang di pulau itu.

Ineffest memutar film di halaman SD Negeri Pulau Messah, satu-satunya sekolah yang ada. Murid-muridnya, sekitar 300 orang, menikmati film-film animasi dari organisasi BOL The Language of Children dari India. Debjani Bandyopadhay dari BOL mengatakan kepada anak-anak Pulau Messah bahwa film-film itu buatan anak seusia mereka.

Seluruh sesi pemutaran film festival ini diadakan di luar ruang. Pada hari terakhir, Selasa (24/9/2013), film diputar di Lapangan Sepak Bola Labuan Bajo di pusat kota. Film yang diputar adalah lima film dokumenter hasil pelatihan selama sepekan yang diikuti 10 anak dari Pulau Jawa dan 10 dari Labuan Bajo. Film penutupnya adalah Cita-cita Setinggi Tanah karya Eugene Pandji.

Film yang terpilih dalam festival ini pada umumnya bercerita tentang kehidupan pesisir serta pendidikan anak-anak. Pemilihan beberapa film memang tepat, seperti film Lukas Moment. Di film itu, tokoh Lukas, nelayan udang yang masih sekolah di SMA Negeri Merauke, berusaha memasarkan hasil panennya ke Jayapura karena mendapat kabar bahwa harga di sana lebih bagus. Namun, kenyataan tak semanis impiannya.

Sementara film Epic Java agak "melenceng" dari keseharian penonton. "Kami hendak memberi wawasan kepada warga Labuan Bajo tentang alam yang ada di Pulau Jawa. Sementara film Cita-cita Setinggi Tanah walaupun berlokasi di Muntilan, Jawa Tengah, punya fokus yang jelas, yaitu usaha membuat harapan menjadi kenyataan," kata Program Manager Sugar Nadia Azier.

Direktur Festival Kamila Andini mempunyai keinginan membawa festival ini ke luar kota besar. Dua tahun sebelumnya, mereka menggelar festival di pesisir Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

"Supaya anak-anak di sana bisa membuka ruang kreatif mereka bahwa cita-cita tak harus jadi PNS atau karyawan kantor. Menjadi pembuat film atau kerja kreatif lainnya juga bisa jadi cita-cita," kata Andini.

Semoga saja anak-anak yang disapa Ineffest bisa punya impian yang menapak bumi, tak perlu setinggi langit. (Herlambang Jaluardi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau