Berbeda dengan awal kemunculannya, fenomena electronic dance music (EDM) dalam satu dekade terakhir kian merangsek ke dalam arus utama industri hiburan. Saban bulan setiap tahun selalu saja ada jadwal festival EDM di berbagai negara.
Di Indonesia sendiri, sejak enam tahun lalu, Djakarta Warehouse Project (DWP) menambah satu titik koordinat dalam peta global perhelatan "ajeb-ajeb" massal festival EDM. Jenis festival musik yang kian menjadi bisnis besar di Asia, setelah lebih dulu meledak di Amerika Serikat dan Eropa.
Pergelaran kelima DWP 2013 pekan lalu, Jumat (13/12/2013) sore hingga Sabtu (14/12/2013) pagi, di Ecopark dipadati hingga sekitar tiga puluh ribu pengunjung, sebagian termasuk warga negara asing. Sebagai perbandingan, DWP 2012 di Istora Senayan Jakarta, pengunjung yang datang sekitar dua puluh ribu orang.
Gelombang massa penggila EDM ini mulai memadati areal Ecopark selepas petang. Mereka datang dengan gaya kasual yang khas. Banyak pengunjung perempuan hadir dengan atasan yang menampakkan perut, celana ekstra pendek, dan alas kaki nyaman.
Berbeda dengan acara ajeb-ajeb di kelab, berlaku kemerdekaan berpenampilan dalam festival, sehingga siapa pun boleh bersandal jepit. Begitu pula dengan laki-laki, sebagian tampak santai saja bertelanjang dada dan celana selutut. Perlengkapan lain yang khas, misalnya kacamata hitam. Ya, meski di malam hari, mereka berkacamata hitam sambil berjoget. Tak lupa, gelang berwarna-warni neon yang menyala indah dalam gelap seiring gerakan-gerakan tangan saat berdansa.
Dalam kajian berjudul Rave Culture and the Contemporary Electronic Dance Music Scenes, profesor dari Departemen Sosiologi Universitas Delaware di AS, Tammy L Anderson, menyebut, ciri-ciri penampilan semacam itu semula menjadi penanda identitas komunitas rave atau ravers saat berpesta. Kredo yang diusung komunitas ini adalah PLUR, peace, love, unity, and respect. Kredo yang sebenarnya masih merujuk pada era counter-culture di tahun 1960-an.
Anderson mencermati, di era 1980-an di Inggris, rave sejatinya merupakan pesta-pesta klandestin yang digelar kaum muda secara ilegal atau tanpa izin, dengan memutar musik elektronik sebagai ciri utama. Gudang (warehouse), misalnya, menjadi tempat yang disasar untuk pesta tersebut.
Dari fenomena itulah, EDM meniti sejarah. Musik elektronik menjadi medium pencarian identitas kolektif kaum muda, yang semula antikemapanan. Sementara kini, kultur rave yang mengusung EDM terkomodifikasi menjadi pesta yang berbasis pada kelab berizin, yang lalu memunculkan istilah clubbing. Perhelatan festival EDM lantas menjadi komoditas yang menjadi ajang bisnis tersendiri di panggung global.
Di Asia, selain DWP, festival EDM yang lebih dulu ternama, misalnya, ZoukOut Singapura sejak tahun 2000 dan Sunburn di Goa India sejak 2007. Ketiga festival di Asia tersebut hanya sebagian dari 82 festival EDM lainnya di dunia sejak Januari hingga Desember di tahun 2013 ini. Tak heran, dari semula hanya beredar klandestin, EDM kini secara pesat membentuk subkultur tersendiri di arena global dalam garapan mesin bisnis.
Pecah
Kemapanan pesta rave ala masa kini tampak dari hujan sponsor dalam festival semacam DWP. Logo-logo sponsor menghias areal di tiga panggung utama perhelatan, mulai dari panggung Garudha Ice Land, Cosmic Station, dan Neon Jungle. Di ketiga panggung ini pula, gradasi selera diakomodasi.
"Panitia cukup rapi membagi selera pengunjung. Yang mainstream di Garudha, yang trance di Cosmic Station, yang di Neon lebih ke eksperimental," kata Reddia Virginia (33), yang sejak 2011 mengikuti DWP.
Jumlah penampil pun tahun ini lebih padat, yakni 15 disc jockey (DJ) internasional dan 30 DJ Indonesia. Beberapa nama beken di antaranya adalah Alesso, Zedd, David Guetta, Martin Solveig, Seth Troxler, BreakBot, Showtek, Solomun, dan W&W. Sementara DJ Indonesia, antara lain, adalah Dipha Barus, Anton & Hogi Wirjono, Riri Mestica, dan Angger Dimas. Angger Dimas, Juli lalu, sempat diundang tampil di ajang festival EDM terpopuler sedunia saat ini, yakni Tomorrowland di Belgia.
"Kalau DJ-nya sebanyak ini, lain kali sebaiknya dibikin lebih dari satu hari. Jadi, kami bisa menikmati tiga panggung secara cukup merata," tutur Ahmad (35).
Meski keseluruhan festival cukup menghibur, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting. Hujan deras malam itu membuat areal di panggung Garudha jadi berlumpur. Banyak pengunjung terlihat tergelincir. ”Ruang medis juga tak memadai. Teman saya terkilir dan ternyata sudah tidak ada obat di ruang medis. Saya berharap DWP bisa diselenggarakan di Senayan lagi yang bebas lumpur,” tutur Reddia.
Berbeda dengan panggung Garudha, arena dalam ruang Cosmic Station yang menampilkan sub-aliran EDM yang cenderung trance tampak dipenuhi pengunjung yang lebih dewasa. Racikan musik dengan ritme repetitif menyihir naluri purba untuk menggerak-gerakkan tubuh begitu saja. Di bawah terpaan lampu laser yang spektakuler, pengunjung melonjak-lonjak berdansa dalam entakan musik yang menyedot alam kesadaran untuk trans bersama. Pecah, begitu istilah mereka menggambarkan pencapaian ekstase.
Saat duet DJ asal Belanda W&W membawakan nomor populer "If I lose Myself" dari OneRepublic, massa sontak bergemuruh memecah kebahagiaan. "If I lose myself tonight, it’ll be by your side. If I lose myself tonight, woah, woah, woah…".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.