Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Musik, Antara Royalti dan Keripik

Kompas.com - 30/03/2014, 09:54 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Hang Dimas, praktisi teknologi yang berhubungan dengan musik, terkejut ketika kawannya di band Peterpan, sebelum jadi Noah, menyebut angka Rp 2.000.000 saja dari hasil hak cipta. Padahal, waktu itu, Peterpan sedang top bukan kepalang.

Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan musisi untuk menambah penghasilan tanpa melunturkan idealisme bermusiknya.

"Waktu dikasih tahu mereka (Peterpan) hanya dapat segitu, saya langsung merasa ada hal yang salah," kata Dimas yang membuat perusahaan Langitdata Indonesia ini, dalam diskusi #Unresolved 3 di Toko Omuniuum, Bandung, Minggu (9/3/2014). Diskusi itu digagas beberapa orang dari komunitas Musik, Teknologi, dan Kewirausahaan di Google+.

Dimas menceritakan, ia dan bandnya di Malaysia, Hujan, mendapat royalti berbentuk cek setidaknya Rp 100 juta dalam setahun. Royalti sebesar itu ia dapat dari mendaftarkan dua hingga tiga lagu gubahannya ke asosiasi lisensi musik setempat. Di Indonesia, asosiasi semacam ini dipegang, misalnya, oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Menurut Dimas, banyak band Indonesia, baik yang tergabung di perusahaan besar maupun indie, tak memahami hak mereka. Sistem pemberian royalti di Indonesia, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak dua puluh tahun silam, tetapi tidak dilaksanakan dengan baik.

Musisi, lanjut Dimas, setidaknya harus tahu dua sumber royalti untuk mereka, yaitu mechanical rights dan performing rights. Secara singkat, Dimas menjelaskan, mechanical rights adalah hak musisi saat master rekaman yang mereka ciptakan diperbanyak ke berbagai medium, seperti bentuk kaset, cakram, dan piringan hitam ataupun berkas digital.

Sementara performing rights adalah royalti yang bisa diperoleh musisi jika karya mereka disiarkan di televisi, radio, tempat karaoke, ataupun tempat publik, seperti restoran, hotel, dan bank. Cek sebesar Rp 100 juta yang Dimas terima adalah hasil dari performing rights ini. Rupanya, radio dan televisi di Malaysia masih mengudarakan lagu band Hujan meski band itu kini vakum.

Dari mana uang itu diperoleh? Dimas menceritakan, asosiasi karya cipta mengutip royalti dari pihak yang menyiarkan karya pencipta. Dari sana, uang itu disalurkan kepada pencipta sesuai haknya. Sesederhana itu. Namun, kata Dimas, di Indonesia saat ini terjadi kerancuan asosiasi mana yang berwenang mengutip dan transparansi penyalurannya kepada pencipta.

Saat ini, Dimas menggandeng sejumlah pihak, seperti industri rekaman, asosiasi komposer, dan asosiasi produser, membentuk Sentra Licencing Musik Indonesia (Selma). Sentra ini nantinya yang akan mengutip kepada lembaga penyiaran ataupun tempat komersial yang mengudarakan karya musik.

Landasan hukum sentra ini sedang dimasak kelompok itu, termasuk bersama pemerintah. Dimas bersama perusahaannya tergabung di tim itu. Nantinya, sistem pemberian lisensi itu akan diwujudkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

"Audiensi dengan DPR sudah dilakukan. Mudah-mudahan cepat selesai sebelum pergantian legislator," ujarnya.

Keripik
Selain berpeluang mengisi pundi dari royalti, musisi juga bisa bekerja sama dengan perusahaan dalam berpromosi. Bentuk kerja sama seperti itu pernah dilakukan keripik singkong Maicih di Bandung dengan beberapa musisi independen, seperti Mocca, Sarasvati, dan Efek Rumah Kaca (Pandai Besi). Duo Bottlesmoker dari Bandung bahkan sudah setahun ini menjadi duta produk skuter Vespa.

Julius Iskandar, manajer Bottlesmoker, menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ini ia akan memperpanjang kontrak kerja sama itu dengan pihak Vespa. Kerja sama itu, kata dia, tidak mengganggu proses kreatif duo elektronik itu.

"Mereka sangat mendukung apa pun yang dilakukan Bottlesmoker," ujar dia.

Bob Merdeka, pendiri produk keripik Maicih, mendukung karya musisi dengan membuatkan konser bagi mereka. Imbal baliknya, merek keripik buatannya terdongkrak. Ia merasakan hal itu ketika membuatkan konser bagi Sarasvati di Yogyakarta, beberapa tahun lalu.

"Waktu itu sedang marak peredaran merek palsu Maicih di Yogyakarta. Kami datangi saja langsung ke sana sekaligus memperkenalkan musik Sarasvati. Setelah konser, kami juga membayar Sarasvati untuk mempromosikan merek kami di sosial media. Hasilnya, 5.000 bungkus ludes," kata Bob.

Keripik pedas itu juga pernah mengeluarkan edisi khusus dengan kemasan bergambar personel band Mocca sebanyak sekitar 700 bungkus. Hasil penjualannya diserahkan seluruhnya untuk band. Dalam memilih band yang diajak kerja sama, Bob berpegang pada kualitas karya band dan isu yang mereka usung. Proyek band Pandai Besi dalam menyadarkan masyarakat pada keberadaan studio bersejarah, Lokananta, adalah salah satu yang didukung keripik Maicih.

Soundtrack game
Peluang lain yang terbilang baru di Indonesia adalah menyertakan lagu dalam game komputer. Game bertema horor DreadOut yang segera dilempar ke pasaran dikembangkan perusahaan Digital Happiness dari Bandung. Permainan ini memasukkan lagu-lagu dari empat band, Sarasvati, Koil, Sigmun, dan Mocca.

Adhitya Wibisana, yang menata suara game itu, mengatakan, musisi yang lagunya dipakai dalam game mendapat kompensasi. Ada yang dibayar royaltinya, ada yang "beli putus". Kompensasi lainnya adalah memasukkan aset band ke dalam game.

"Rumah makan milik Leon, drummer Koil, misalnya, kami masukkan sebagai latar di dalam game," kata Adhit.

Dalam kemeriahan dunia digital saat ini, ada banyak yang bisa dilakukan band daripada harus berlarut-larut memikirkan indie atau bukan, komersial atau idealis. Robin Malau, mantan gitaris band metal legendaris Bandung, Puppen, mengatakan, semua cara bisa ditempuh.

"Band umumnya hanya memikirkan bagaimana karya mereka, bagaimana penampilan di konser selanjutnya. Hal-hal di luar itu, yang sebenarnya bisa menguntungkan mereka, sering kali terabaikan," tutur Robin yang membuka toko musik internet Musikator ini.

"Urusan luar" itu adalah ceruk yang bisa diambil alih oleh manajemen band. Nah, peran manajer tak lagi sebagai "pembantu" band belaka. (HEI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau