Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Eropa Lewat Film

Kompas.com - 09/05/2014, 16:13 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Anak muda biasanya suka menonton film. Kita juga suka yang gratisan. Nah, untuk mengisi liburan, khususnya siswa kelas XII SMA dan kelas IX SMP, coba nikmati Europe on Screen 2014. Ini adalah festival film yang menayangkan berbagai genre film dari negara-negara di Benua Eropa.

Untuk menonton film-film itu, kita tak dipungut biaya sepeser pun alias gratis. Enggak cuma gratis, Europe on Screen juga suka membagikan hadiah kejutan buat penonton yang beruntung.

Panitia Europe on Screen bekerja sama dengan kedutaan-kedutaan Uni Eropa di Indonesia yang meminjamkan tempat dan film-film yang akan ditayangkan di Europe on Screen. Festival ini dilaksanakan tanggal 2 Mei sampai 11 Mei 2014 di 9 kota di Indonesia.

Kota-kota yang dikunjungi Europe on Screen adalah Jakarta, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Makassar, Medan, Padang, Surabaya, dan Yogyakarta. Bagi kita yang berdomisili di Jakarta, bisa datang ke Goethe Haus, Erasmus Huis, Istituto Italiano Di Cultura, Institut Francais-Indonesia Salemba, Taman Kodok, dan TKC Universitas Tarumanagara.

Europe on Screen tak hanya memutar film-film komersial, tetapi juga film-film indie dan dokumenter. Festival ini juga menyediakan seksi khusus untuk Short Film Competition, yaitu kompetisi film-film pendek karya anak muda.

Antusiasme anak muda Indonesia dalam membuat film terbukti tinggi. Buktinya, ada 152 film yang terdaftar mengikuti kompetisi tersebut. Dari sejumlah film itu, tersaring 10 film yang ditayangkan pada Europe on Screen, 5 dan 7 Mei lalu.

Pada festival film ini juga ada Open Air Screening di Erasmus Huis dan Taman Kodok, Jakarta, tanggal 2-10 Mei 2014. Film yang ditayangkan di tempat terbuka ini, umumnya film-film komersial.

Pesan moral
Film-film yang ditayangkan dalam festival ini bisa dikatakan sarat pesan moral. Meski terkadang pesan itu disampaikan dalam tema komedi. Pada film komedi berjudul The Sandman (dari Swiss) misalnya, mengajarkan kita untuk selalu berkata jujur jika tidak ingin dikutuk mengeluarkan pasir dari tubuh setiap kali berbohong.

Sementara dalam film dokumenter Mission to Lars dari Inggris, Kate dan Will Spicer, sang tokoh, digambarkan pantang menyerah dan berhasil mewujudkan mimpi adiknya yang mengidap sindrom Fragile X (mirip sindroma down) untuk bertemu idolanya, Lars Ulrich, drummer band Metallica.

Festival film ini relatif diminati masyarakat. Antrean tiket bisa dikatakan tak pernah sepi, terutama pada pemutaran film pukul 17.00, pukul 19.30, dan akhir pekan.

Menurut Septa (23), salah satu volunter Europe on Screen, dalam sehari penonton festival ini mencapai 1.000 orang. Jumlah itu bertambah banyak pada akhir pekan.

Seto (19) dari SMA Kolese Gonzaga, Jakarta, mengaku baru pertama kali menonton festival ini. Dia datang bersama teman-teman sekolahnya,

"Gue baru ngajakkin teman-teman semalam, dan mereka langsung setuju. Rencananya kita mau terus menonton sampai 11 Mei nanti," kata Seto.

Membandingkan film dari Eropa dan film Indonesia, kata Seto, ”Film Eropa memiliki efek spesial yang lebih maju. Namun film Indonesia juga enggak kalah, kita bisa menunjukkan film yang bagus dan khas. Misalnya film aksi yang tergolong keras, The Raid. Koreografinya bagus banget.”
Menulis ulasan

Adapun Nina (23) mengaku sebagai penonton setia festival ini dari tahun ke tahun. Menurut dia, film Indonesia umumnya jalan ceritanya mudah ditebak dan kerap menunjukkan hedonisme kehidupan sebagian orang.

”Tetapi film Indonesia yang masuk ke festival film biasanya enggak kalah bagusnya dari film Eropa. Film Eropa itu selain fokus pada sang tokoh, juga sering menonjolkan pemandangan alamnya,” ujar Nina.

Penonton lainnya, Aila (17), berpendapat, "Film Eropa itu beragam banget, plotnya kreatif, dan dekat dengan kenyataan. Ceritanya juga enggak jauh dari kehidupan kita."

Aila, pelajar SMA di Jakarta ini berharap untuk selanjutnya Europe on Screen bisa diputar di lebih banyak tempat.

"Lebih asyik kalau film-filmnya enggak cuma diputar di pusat kebudayaan, tetapi di mal-mal. Doorprize dan kuisnya diperbanyak, biar orang semakin antusias. Apalagi kalau ada lomba menulis ulasan tentang film yang diputar," kata dia.

Septa yang menjadi volunter dalam perhelatan ini sejak tahun lalu bercerita, tahu tentang festival film ini dari teman yang menjadi panitia.

"Menjadi volunter di sini bisa membuat pengalaman kita bertambah. Kita juga bisa memperluas jejaring. Asyiknya, panitia dan volunternya seperti keluarga," ujar dia.

Sementara bagi Valentine (24), Koordinator Relawan & Distribusi khusus Jakarta mengatakan, tugasnya terbantu dengan penonton yang kemudian mengajak teman-teman mereka ikut menikmati festival ini.

"Kita bersyukur banget ada teman-teman yang menonton festival ini, lalu nge-tweet atau nongol di Facebook. Tahun depan insya Allah kita bisa lebih gencar berpromosi dan memutar lebih banyak film," kata dia.

Pada festival ini dihadirkan pula beberapa sutradara dan editor film, yang karyanya diputar. Di sini juga ada diskusi, misalnya tentang film animasi dan film dokumenter.

Jadi, tunggu apa lagi? Mari meluangkan waktu kita menonton film Eropa sekaligus menambah wawasan tentang kultur berbagai bangsa di Eropa. (Annisa Dina Haryadiputri Magangers Batch 5, Siswa SMAN 6 Jakarta)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau