Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Negeri Tanpa Telinga", Tanpa "Fakta Baru"

Kompas.com - 22/08/2014, 19:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sebuah film skandal politik digarap sutradara sekaligus produser Lola Amaria. Lima tahun melakukan riset, film berjudul Negeri Tanpa Telinga ini tidak menghadirkan "fakta baru" ke dalam layar lebar.

Ustaz Etawa akhirnya ditangkap KAPAK. Lembaga anti-korupsi ini menemukan bukti ketua bahwa Partai Amal Syurga ini mengorupsi dana impor daging domba untuk kepentingan partai. Sang ustaz yang diperankan Lukman Sardi ini berlagak suci. Ia menyebut penangkapan itu sebagai konspirasi internasional yang tidak ingin melihat partainya menjadi besar.

"Ini konspirasi Yahudi," tukas Etawa.

Sosok Etawa ini mengingatkan pada fakta di negeri ini. Ketika ada sesuatu yang tidak beres terjadi, segelintir orang mengatasnamakan agama selalu menuduh Yahudi ada di balik kekacauan itu. Etawa yang digambarkan memiliki dua titik hitam di dahi tersebut ditangkap polisi di kawasan Puncak.

Ia tidak sendirian. Momon yang diperankan penari Eko Supriyanto juga ditangkap KAPAK. Momon ini punya peran menjadi perantara proyek impor domba. Di depan wartawan, Momon berkali-kali meneriakkan kata no comment saat ditanya perihal keterlibatannya.

Skandal
Penangkapan Etawa mengagetkan Naga, tukang pijat langganan Etawa. Di depan layar kaca, Naga (Teuku Rifnu Wikana) berteriak, "Ayah kenal sama orang ini". Pernyataan Naga menarik reaksi anak sulungnya, "Kenapa Ayah kenal sama orang jahat?"

Itulah sepenggal cerita dari film Negeri Tanpa Telinga besutan sutradara dan produser Lola Amaria. Melalui sosok tukang pijat keliling bernama Naga, Lola merangkai benang merah atas skandal yang terjadi di kalangan para politisi dan pejabat negara. Skandal tidak hanya melibatkan uang, tetapi juga perempuan.

Jika sudah bicara soal uang dan perempuan, tingkah para politisi menjadi seragam. Kalau Etawa bermain uang dengan mengimpor domba, Piton (Ray Sahetapi), pemimpin Partai Martobat yang beraliran nasionalis ini, mengeruk uang dari pemberian izin pembangunan perumahan rakyat miskin Bukit Kahyangan. Ia butuh banyak duit untuk maju menjadi presiden.

Piton berselingkuh dengan Tikis Queenta (Kelly Tandiono) yang juga anggota Partai Martobat. Tikis yang duduk di DPAR, pelesetan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita, dimanfaatkan Piton untuk melicinkan upayanya maju sebagai presiden. Selain itu, Tikis juga menjadi mesin uang partai.

Proyek yang melibatkan Menteri Urusan Kemiskinan Rakyat itu awalnya ditentang anggota fraksi, termasuk Partai Pohon Rindang, karena nilainya yang mencapai Rp 1,5 triliun. Padahal, menurut perkiraan anggota fraksi, proyek 5.000 rumah sederhana itu diperkirakan hanya butuh Rp 800 miliar.

Tikis punya acara. Ia memetakan siapa saja anggota partai politik yang doyan uang dan siapa yang doyan perempuan. Untuk soal perempuan, Tikis sendiri yang melayani mereka. Hal ini berujung konflik dengan Piton yang rupanya cemburu dengan kelakuan Tikis.

Polah elite politik dan pejabat ini diketahui secara detail oleh Naga. Ia dekat dengan lingkar kekuasaan karena keahliannya memijat banyak dibutuhkan petinggi partai dan pejabat negara.

Saat memijat itulah para elite politik ini "curhat" tentang persoalan mereka kepada Naga. Naga yang muak dengan curhatan itu akhirnya meminta dokter kenalan untuk menulikan telinganya.

Bukan komersial
Di awal, film ini seperti menjanjikan sebuah tayangan skandal yang rumit. Namun, hingga akhir cerita, tidak banyak hal baru yang diungkap dalam film kecuali peran Naga yang banyak mendengar "curhatan" pasien dan persoalan skandal yang ditayangkan dalam film tidak jauh berbeda dengan fakta yang sering kali ditayangkan di televisi, yang ditonton jutaan orang.

Soal tertangkapnya Etawa dan skandal impor domba, misalnya, juga skandal pembangunan Bukit Kahyangan yang melibatkan elite partai dan menteri yang minta jatah uang, semuanya sudah pernah ada di media massa. Kalaupun ada tambahan, itu hanyalah sedikit bumbu bagaimana perilaku istri Piton yang hanya menjadikan politikus itu sebagai mesin uang untuk kebutuhan mewahnya.

Saat merilis film tersebut beberapa waktu lalu, Lola mengatakan, Negeri Tanpa Telinga bukan film komersial yang diharapkan bisa laku ditonton orang. Dengan semangat memberikan edukasi kepada masyarakat, Lola yang mencari dana sendiri untuk film ini lebih ingin agar film tersebut bisa ditonton pelajar dan mahasiswa di Indonesia.

"Setiap film tentu memiliki pesan positif yang bisa dipetik penontonnya. Kalau saya pribadi, saya ingin film ini bisa ditonton anak sekolah dan mahasiswa supaya bisa menjadi memori kolektif mereka pada masa depan," kata Lola.

Jika memori kolektif itu sudah melekat, ia berharap, nantinya, generasi muda bisa menolak segala praktik yang tidak baik dalam berpolitik sehingga bisa menjadikan bangsa ini menjadi utuh, jujur, dan bersih.

Lola mengatakan bahwa gagasan film itu berasal dari pemberitaan media massa yang terus-menerus membahas skandal seks dan korupsi para pejabat serta elite politik.

"Risetnya cukup panjang. Saya menemukan skandal seks tidak hanya di politik, tetapi juga di mana-mana ada. Berita tentang skandal itu banyak di televisi dan ternyata realitasnya lebih menyeramkan dibandingkan dengan di film," ujar Lola.

Ray Sahetapi mengatakan, upaya Lola menguak dunia hitam politik Indonesia ini patut diacungi jempol. Sebagai sutradara perempuan, ia berani mengangkat tema yang jarang digarap sineas lainnya. Membuat film semacam ini tidaklah mudah.

"Lola tak hanya mengamati media massa, tetapi perlu juga mewawancarai banyak narasumber agar bisa memperoleh gambaran yang riil," kata Ray. (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com