Film ini dibuka dengan adegan tiga pria duduk di kafe, menikmati kue yang mereka diskusikan dengan penuh perasaan. Baru kemudian, film diputar ke belakang, memperkenalkan mereka sebagai sosok pria yang sebelumnya punya gaya jauh berbeda. Jay, diperankan Adipati Dolken, adalah sosok andalan sebuah agensi kreatif yang punya spesialisasi mengeksploitasi sensualitas perempuan. Sensualitas, di tangan Jay, bisa dikemas untuk menjual produk apa pun, tak masalah sampo atau ban mobil. Ia punya kekasih, tetapi tak berminat dengan komitmen permanen berwujud pernikahan.
Lalu, Affandi (Tora Sudiro), pengusaha sukses, suami yang hampir tak bisa melihat peran istrinya yang setia di rumah. Berikutnya, Richard (Tanta Ginting), tak perlu bekerja karena sudah terlahir kaya. Ia gemar punya beberapa pacar sekaligus dalam relasi jarak jauh. Ketiga pria ini bersahabat dengan agenda utama: bersenang-senang bersama. Urusan fisik perempuan—bukan kue—adalah topik pembahasan favorit mereka.
Suatu malam, di sebuah bar, mereka menggoda Mel (Ayushita), perempuan pekerja di bar itu, hingga ia menangis. Mel pun mengutuk tiga laki-laki itu, "Suatu hari nanti kalian bakal ngerasain bagaimana rasanya jadi perempuan yang dipermalukan!"
Sejak itu, ketiga pria ini mendadak berubah selera dan bersalin emosi seperti layaknya perempuan. Di sini, bisa diperdebatkan, apakah sifat sensitif, emosional, dan selera lagu romantik ala Raisa, atau kekhawatiran terhadap penampilan kulit itu spesifik "milik" perempuan? Bukankah tak sedikit laki-laki normal merasakan hal yang sama?
Sebaliknya, apakah laki-laki disebut "macho" jika bergaya cuek pada perasaan perempuan, tetapi sangat peduli dengan penampilan fisik perempuan? Sekali lagi, film ini memang menggarap mitos.
Karma
Jay, Affandi, dan Richard yang resah dengan perubahan emosional itu kemudian menemui seorang psikolog, Windy (Rianti Cartwright). Windy menjelaskan, ini kondisi langka di mana laki-laki ingin jadi perempuan. Ia juga memprediksi, tidak lama lagi mereka bakal ingin operasi alih kelamin. Di bagian akhir film ini, Windy memberi penjelasan yang agak lebih masuk akal tentang apa yang sebenarnya dialami tiga pria itu. Guru meditasi di film ini (diperankan Richard Oh) mengatakan, ketiga sahabat ini sedang bermasalah dengan karma.
Perubahan emosi yang mereka alami tak sekadar menyangkut gaya, tetapi juga memengaruhi hubungan ketiga pria ini dengan orang-orang di sekitarnya. Affandi, misalnya, jadi lebih perhatian pada istrinya, juga lebih peduli pada kebutuhan karyawan perempuan yang sedang mengandung di kantornya. Hubungan Richard dengan semua pacarnya berakhir. Ia mulai melihat perempuan dari sudut pandang berbeda. Sementara Jay jadi risi menggunakan citra tubuh perempuan untuk menjual ban. "Kita perlu memberi esensi, bukan sensasi," ujarnya.
Sebagai tayangan komedi, film produksi MNC Pictures yang disutradarai Ardy Octaviand ini menawarkan adegan yang dirancang kocak. Ada logika cerita yang mengganggu, misalnya saat ketiga pria ini ke dokter bedah plastik untuk menanyakan prosedur ganti kelamin. Film ini juga bisa mengundang perbedaan pendapat soal mitos jender. Akan tetapi, terselip pula ide menarik, misalnya tentang perempuan yang tak menuntut kesempurnaan, melainkan kenyamanan.
Pada akhirnya, "emosi perempuan" pada sosok tiga laki-laki ini membuat mereka menjadi orang-orang yang lebih baik. (NUR HIDAYATI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.