Menurut Butet, pada Desember 2015, ia bersama rekannya, sastrawan Agus Noor, dan pemusik sekaligus seniman peran yang juga adik Butet, Djaduk Ferianto, sedang berkunjung ke Timika, Papua.
Ketika itu, Butet sedang memenuhi undangan PT Freeport di Timika sekaligus mencari pemusik-pemusik setempat untuk mereka ajak tampil bersama dalam pergelaran Jazz Gunung 2016 di kawasan Bromo, Jawa Timur.
"Kami (Butet dan Djaduk) Desember kemarin (2015) sama Agus Noor. Kami kan punya program lain, Jazz Gunung. Djaduk itu punya keinginan kolaborasi sama orang-orang Papua. Saya ke Timika untuk penuhi undangan sambil cari seniman lokal untuk kolaborasi Agustus besok (2016)," kata Butet ketika diwawancara per telepon oleh Kompas.com, Minggu (24/1/2016).
"Perjalanan di Timika biasa, diajak ke pertambangan di atas. Di sana saya ketemu geolog-geolog kita yang bekerja di sana. Yang digali itu bukan gunung yang subur. Di ketinggan 4.000 meter itu ternyata enggak ada tanaman yang tumbuh, cuma tanaman perdu dan rumput," kisahnya.
"Orang-orang Freeport jelaskan, satu ton pasir yang dikeruk menghasilkan satu gram emas. Lalu, sisanya ke mana? Saya tanya gitu. Nanti dibawa ke Timika, (di sana) pasir-pasir yang tidak subur itu jadi produktif," sambungnya.
"Setelah itu, kami dibawa ke tanah itu, dan itu membuat saya gumun (kagum). Limbah tanah yang tadi diolah dihamparkan di cekungan, 230 hektar. Melalui suatu teknologi, tanah yang semula pasir dan tak ada unsur hara itu bisa ditumbuhi pohon. Kami bertiga juga diminta tanam pohon di situ," kisahnya lagi.
Menurut Butet, sesudah mendapat pengalaman tersebut, ia menyampaikan kekagumannya dalam video yang dibuat oleh PT Freeport Indonesia dan diunggah oleh perusahaan tersebut ke YouTube.
"Saat itulah saya dimintai pendapat. Jadi, itu dicopot konteksnya. Itu spontanitas saya saja karena rasa gumun. Itu model pertambangan untuk alam karena pengolahan teknologi tadi. Itu semacam ekspresi rasa gumun itu. Ketika dia berdiri sendiri, jadi beda," ujarnya.
Karena pernyataannya dalam video itu, Butet diprotes oleh sejumlah netizen pada media sosial Facebook karena dinilai mendukung PT Freeport Indonesia.
"Saya dihujat, katanya saya dibayar. Ya, enggaklah. Ya tetapi, kalau dihujat, ya risiko itu memang dinamikanya. Ya sudah, apa yang saya lakukan dan saya yakini tidak salah. Secara konteksnya benar, ya sudah," katanya.
Menurut Butet pula, PT Freeport Indonesia yang melihat respons tersebut kemudian memutuskan untuk menghapus video itu dari YouTube.
"Makanya, sekarang sama Freeport upload di YouTube ditarik. Sebenarnya saya tidak protes sama Freeport. Cuma, itu karena mereka sungkan. 'Kok, akibatnya begini, Mas'," ujarnya.
Butet merasa bahwa kejadian itu bisa menjadi pelajaran bagi dirinya.
"Saya enggak ada masalah, saya enggak ingin jadi pengecut. Kalau harus berpendapat, ya berpendapat. Namun, ini proses pembelajaran untuk saya. Saya mesti hati-hati memilih kata yang tepat," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.