Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jingga": Dunia Berwarna di Balik Kegelapan

Kompas.com - 21/02/2016, 15:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Tak selamanya kegelapan itu menakutkan dan tak bermasa depan. Di dalam gelap, nyatanya ada dunia yang jauh lebih berwarna.

Dunia para penyandang tunanetra yang justru sarat harapan meski hidup bagi mereka hampir pasti tak mudah dijalani.

Ini kisah tentang Jingga (Hifzane Bob), anak pasangan Ireng (Ray Sahetapy) dan Fusia (Keke Soeryokusumo), yang sejak bayi memiliki penglihatan kurang (low vision).

Kekurangan Jingga itu membuat Ireng kecewa. Hingga Jingga dewasa, Ireng tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Jingga adalah penyandang tunanetra yang tak bisa melihat dunia sekitarnya dengan mata awas seperti dirinya.

Sikap Ireng itu kerap memicu pertengkaran dengan Fusia yang sesungguhnya jauh lebih bisa menerima kondisi Jingga.

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Perlahan, tetapi pasti mengubah rumah yang seharusnya hangat menjadi neraka yang membuat para penghuninya tertekan.

Sebuah peristiwa membuat Jingga mengalami kebutaan total. Mata kirinya mendapat pukulan keras yang merusak saraf matanya.

Jingga yang semula masih bisa melihat meski buram harus menerima kenyataan bahwa dia tak akan bisa lagi melihat terang.

Peristiwa itu membuat kondisi rumah semakin muram dan penuh kesedihan. Jingga yang putus asa pun mencoba bunuh diri walaupun usahanya itu gagal.

Namun, Fusia adalah sosok ibu yang di balik kelembutannya menyimpan semangat tak mudah patah.

Dia mengajak Jingga ke sekolah luar biasa (SLB) agar Jingga belajar dan berani menatap masa depannya.

Meski awalnya tak mudah, akhirnya Jingga menemukan kembali semangatnya.

Sejak itu, Jingga melanjutkan sekolahnya di SLB dan mulai belajar mandiri.

Di sana, Jingga yang punya bakat bermain drum berjumpa teman-teman baru. Jingga pun kemudian bergabung dengan band Merah.

Dengan cepat, Jingga menjadi akrab dengan Marun (Qausar HY), Magenta (Aufa Assegaf), dan Nila (Hany Valery) yang juga penyandang tunanetra.

Mereka tumbuh menjadi sahabat yang saling menguatkan, berbagi kesedihan dan kegembiraan bersama-sama.

Namun, sebuah peristiwa membuat mereka harus kehilangan.
Realitas buram
Menyaksikan film Jingga garapan sutradara Lola Amaria, penonton disuguhi realitas buram yang selama ini tidak banyak diketahui publik.

Perjuangan para penyandang tunanetra yang menjadi tema film menggugat kesadaran bahwa para penyandang tunanetra adalah bagian masyarakat yang kerap luput dari perhatian.

Jingga juga menyuarakan pesan penting. Bahwa meski kondisi mereka sangat terbatas, penyandang tunanetra adalah para pejuang tangguh yang tak mudah menyerah dalam menjalani hidup.

Hal ini dapat disaksikan dari perjuangan Jingga ketika harus bangkit dari keterpurukannya.

Bagaimana dia harus belajar menjalani hari-harinya di sekolah, mulai dari menghitung setiap langkah menuju gerbang sekolah, ruang kelas, dan ruang kepala sekolah.

Bagaimana Jingga yang tak mampu melihat harus memanfaatkan inderanya yang lain untuk "melihat" segala sesuatu di sekitarnya.

Melatih indera perabanya untuk mengenali hal-hal di sekitarnya, juga melatih indera pendengarannya untuk membedakan segala bunyi-bunyian di sekitarnya yang akan memberinya berbagai petunjuk yang dia butuhkan.

Sungguh perjuangan yang tak mudah. Namun, Lola menggambarkan adegan-adegan itu dengan indah sekaligus kuat, tanpa hendak mengajak penonton bercengeng-cengeng.

Jingga adalah tentang semangat dan pergulatan hidup, bukan semata-mata kisah cinta anak SMA.

Akting para pemain yang sangat natural menambah kekuatan yang menghidupkan adegan-adegan yang disajikan dalam Jingga.

Penonton akan terpesona menyaksikan akting mereka yang begitu pas menggambarkan sosok penyandang tunanetra.

Lewat gerak tubuh mereka, seperti cara tertawa yang berbeda, cara menangis yang berbeda, termasuk cara mereka memandang hidup yang penuh optimisme menerima kekurangan mereka.

Melalui Jingga, penonton juga akan benar-benar melihat bahwa penyandang tunanetra tak berbeda dengan manusia lain ketika menghadapi dinamika hidup.

Kadang mereka sedih, tetapi jauh lebih sering bersikap positif menjalani kegelapan mereka. Di balik gelap, hidup mereka jauh lebih berwarna.
Warna-warni hidup penyandang tunanetra itu diangkat Lola ke layar lebar dari ketidaktahuan.

Rasa ingin tahunya itu kemudian mengantar Lola melakukan riset selama lebih kurang satu tahun melintas jarak Jakarta-Bandung.

Sosok Tri Subagyo, penyandang tunanetra yang kini tengah menyelesaikan studi S-3 di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, memberinya inspirasi.

"Berbeda dengan tunarungu yang masih bisa diterima dalam pekerjaan, tunanetra tidak seperti itu. Dia harus ada pendamping yang tuntun sehingga sangat tidak mandiri. Fasilitas umum juga tidak memadai. Lift tidak ada braille, obat juga enggak ada braille. Di Jakarta juga enggak ada jalur khusus untuk mereka, jadi memang sulit," kata Lola.

Banyak hal ingin disampaikan Lola melalui Jingga.

Tentang keluarga yang kerap tak bisa menerima kenyataan tentang kebutaan itu, penyebab kebutaan yang sangat beragam, perjuangan para penyandang tunanetra menjalani hidup, dan dunia berwarna para penyandang tunanetra yang tak berbeda dengan manusia lainnya.

"Karena tokohnya remaja, makanya film ini dibuat ringan dengan banyak musik. Sebab, tunanetra memang lebih kerap menyanyi dan mendengarkan musik. Jadi, saya ambil sisi itu, dengan bumbu cinta segitiga, cemburu, dan persahabatan," kata Lola.

Tak ada shoot-shoot yang menyajikan point of view.

Lola menggambarkan sisi pandang penyandang tunanetra melalui telinga, penciuman, dan jari sebagai pengganti mata.

Dari ketiga indera itu, penyandang tunanetra bisa mengetahui itu langkah siapa serta dari bau dan rabaan mereka.

Lola memilih Bandung sebagai lokasi shooting karena Bandung merupakan kota ramah penyandang disabilitas, terutama bagi penyandang tunanetra.

Rumah sakit mata terbagus dan SLB terbaik ada di Bandung. Bandung juga memiliki banyak jalan yang diperuntukkan bagi penyandang tunanetra.

Melalui Jingga yang akan tayang mulai 25 Februari, Lola berharap dunia gelap penyandang tunanetra yang jumlahnya kini mencapai 3,7 juta orang, pada masa depan akan lebih berwarna. (DWI AS SETIANINGSIH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau