Dunia para penyandang tunanetra yang justru sarat harapan meski hidup bagi mereka hampir pasti tak mudah dijalani.
Ini kisah tentang Jingga (Hifzane Bob), anak pasangan Ireng (Ray Sahetapy) dan Fusia (Keke Soeryokusumo), yang sejak bayi memiliki penglihatan kurang (low vision).
Kekurangan Jingga itu membuat Ireng kecewa. Hingga Jingga dewasa, Ireng tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Jingga adalah penyandang tunanetra yang tak bisa melihat dunia sekitarnya dengan mata awas seperti dirinya.
Sikap Ireng itu kerap memicu pertengkaran dengan Fusia yang sesungguhnya jauh lebih bisa menerima kondisi Jingga.
Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Perlahan, tetapi pasti mengubah rumah yang seharusnya hangat menjadi neraka yang membuat para penghuninya tertekan.
Sebuah peristiwa membuat Jingga mengalami kebutaan total. Mata kirinya mendapat pukulan keras yang merusak saraf matanya.
Jingga yang semula masih bisa melihat meski buram harus menerima kenyataan bahwa dia tak akan bisa lagi melihat terang.
Peristiwa itu membuat kondisi rumah semakin muram dan penuh kesedihan. Jingga yang putus asa pun mencoba bunuh diri walaupun usahanya itu gagal.
Namun, Fusia adalah sosok ibu yang di balik kelembutannya menyimpan semangat tak mudah patah.
Dia mengajak Jingga ke sekolah luar biasa (SLB) agar Jingga belajar dan berani menatap masa depannya.
Meski awalnya tak mudah, akhirnya Jingga menemukan kembali semangatnya.
Sejak itu, Jingga melanjutkan sekolahnya di SLB dan mulai belajar mandiri.
Di sana, Jingga yang punya bakat bermain drum berjumpa teman-teman baru. Jingga pun kemudian bergabung dengan band Merah.
Dengan cepat, Jingga menjadi akrab dengan Marun (Qausar HY), Magenta (Aufa Assegaf), dan Nila (Hany Valery) yang juga penyandang tunanetra.
Mereka tumbuh menjadi sahabat yang saling menguatkan, berbagi kesedihan dan kegembiraan bersama-sama.
Namun, sebuah peristiwa membuat mereka harus kehilangan.