Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkibarlah Indonesia...

Kompas.com - 21/08/2016, 12:46 WIB

Untuk lagu "Ayam Den Lapeh", Addie tertarik pada lirik dan judul lagu yang secara harafiah berarti ayamku lepas.

Langkah-langkah kaki ayam kecil yang lepas, dan rasa sedih karena kehilangan menginspirasi Addie untuk menggunakan biola yang dengan teknik pizzicato, atau dipetik dengan jari, bukan digesek.

Begitu juga kontra bas yang juga dipetik. Efek perkusif ini menjadi dasar bagi flute dan klarinet, dan French Horn untuk memainkan melodi lagu "Ayam Den Lapeh".

Selebihnya Addie lebih banyak bermain dengan harmoni, dan warna atau color dari instrument yang menjadi salah daya pesona musik simfoni.

"Ayam Den Lapeh" merupakan lagu berbahasa Minang karya Abdul Hamid/Nurseha yang dibawakan Orkes Gumarang dalam kemasan musik berbau Latin.

Sekadar catatan, pada era 1950-an, sebelum rock n roll mewabah, musik Latin memang sedang digandrungi. Dalam versi Twilite Orchestra "Ayam Den Lapeh" menemukan wajah simfoniknya.

Begitu juga "Yamko Rambe Yamko" dan lagu daerah lain, serta lagu-lagu patriotis.

Dengan bahan lagu-lagu daerah, Twilite juga dengan menawan menggarap "Nusantara Fantasia untuk Solo Harpa dan Orkes".

Menampilkan harpist Rama Widi, karya ini memuat "Cik Cik Periuk", "Tokecang", "Mande Mande", "Sigulempong", dan "Padang Bulan".

Lagu dari daerah, dengan karakter lokal masing-masing, terangkum dalam konserto untuk harpa dan orkestra yang unik. Nuansa Nusantara yang hadir dalam bentuk simfoni.

Penyanyi pop

Kehadiran penyanyi pop Lea Simanjuntak dan penyanyi seriosa Daniel Kristianto menghadirkan suasana yang lebih cair. Daniel tampil dalam "Indonesia Pusaka" karya Ismail Marzuki, dan Lea membawakan "Tanah Airku" (Ibu Soed).

Mereka berduet dalam "Rayuan Pulau Kelapa" didukung paduan suara lengkap.

Ada catatan kecil soal distribusi suara saat Lea membawakan lagu "Tanah Airku". Pada bagian akhir dari lirik yang berbunyi "Tanahku yang kucintai.."

Suara Lea "terbanting" oleh gemuruh, atau tingkat kekerasan bunyi orkestra, sehingga kurang terdengar.

Tanpa mikrofon, Lea menggunakan suara kepala (head voice) untuk nada tinggi, dengan dan tingkat kelantangan maksimal. Akan tetapi, hal ini tidak mengganggu seluruh penampilan Lea.

Addie MS mengakui, dirinya seharusnya membuat penyesuaian aransemen untuk lagu yang dibawakan Lea tersebut.

Terutama, pada bagian yang menuntut tingkat sonoritas suara yang tinggi, serta kemampuan jangkau suara yang tinggi pula. Di pentas, tangan kiri Addie tampak memberi isyarat kepada musisi untuk menurunkan tingkat keras bunyi.

Akan tetapi, jiwa garapan karya tersebut memang menempatkan bagian tersebut sebagai klimaks dengan tanda dinamik fortissimo (fff), alias sangat keras.

Pengalaman Lea sebagai penyanyi pop cukup mendukung. Ia mampu menjalin komunikasi yang baik dengan penonton, termasuk gesture dan gaun merahnya itu.

"Saya muncul lewat the whole packaged," kata Lea. Dan benar, "Tanah Air" mendapat tepuk tangan panjang penonton.

Twilite Orchestra lewat simfoni mampu mengobarkan patriotisme, mengibarkan Indonesia....

-----------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Agustus 2016, di halaman 24 dengan judul "Berkibarlah Indonesia...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com