JAKARTA, KOMPAS.com -- Album itu berjudul Philosophy Gang atau gerombolan filsafat. Memang terkesan berat.
Walau begitu, album pertama mendiang Harry Roesli, yang memakai nama The Gang of Harry Roesli, itu memikat banyak orang, bahkan hingga 44 tahun setelah peluncurannya dulu.
Salah satu yang terbuai oleh album itu adalah Rendi Pratama (30).
Beberapa tahun silam, ketika masih kuliah di Bandung, ia "dicekoki" lagu "Malaria" dari album itu oleh pedagang piringan hitam bekas di daerah Cikapundung. Upaya si pedagang itu belum berhasil.
"Lagunya, kan, agak balada gitu. Seperti lagu buat om-om," katanya.
Ia pun urung membeli, padahal ia ditawari harga Rp 150.000. Kelak, harga ini naik berkali-kali lipat.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar lagu "Don't Talk about Freedom" yang lewat album kompilasi Those Shocking Shaking Days (Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk: 1970-1978).
Album berisi 20 lagu rock itu diproduksi label AS, Now-Again Records, pada 2011.
Album kompilasi itu seperti memberi gambaran betapa musik rock dari Indonesia pada 1970-an amat digemari di AS ataupun Eropa.
Nuansa psychedelic atau funk di lagu "Anti Gandja" oleh The Brims tak kalah sedap dibandingkan lagu-lagu Iron Butterfly.
Sementara lagu The Gang of Harry Roesli, "Don't Talk about Freedom", dibanding-bandingkan dengan komposisi besutan Frank Zappa.
Lagu itulah yang lantas memikat Rendi dan membuatnya merasa sedikit menyesal gagal memiliki albumnya.
Tapi, akhirnya ia dapat juga. Koleksi piringan hitamnya pun bertambah banyak, sampai sempat berdagang di Pasar Santa tahun 2014.
Saat itu, kaum muda kota besar, apalagi Jakarta, sedang demam vinil akut. Dagangannya laris.
Cuma empat bulan saja dia berjualan di sana. Dia menutup toko karena merasa labanya sudah cukup. Dia ingin punya label rekaman yang memproduksi piringan hitam.