Seniman menafsir Kartini
Sekarang kita beranjak ke wilayah seni, dengan memperhatikan sejumlah seniman perempuan yang menafsir Kartini lewat surat-suratnya di Gedung Tempo sepanjang April 2017.
Seniman-seniman itu menggeledah jejaknya, mempertanyakan keagungan wawasannya. Mempertentangkan Kartini dulu dan konteksnya saat ini. Bahkan, seorang seniman perempuan membayangkan pencerahan spiritual Kartini menjelang wafat.
Dinding dilabur lukisan mural gigantik puluhan seniman dari komunitas-komunitas street art di Jakarta, kemudian sekumpulan desainer grafis yang menggambar Kartini dengan cetak digital di ruang-ruang redaksi, serta dua buah karya instalasi di dalam maupun luar gedung.
Kita mencoba menelusuri sosok Kartini dan karya-karyanya dengan lebih intim dengan perspektif keperempuanan yang dibuat oleh perempuan.
Yang pertama, adalah perupa Amalia Sigit, yang berkolaborasi dengan suaminya seniman Hardiman Radjab dengan judul “Kartini Vroeger en Tegenwoordig”, Kartini dulu dan sekarang.
Mereka menggubah salah satu sudut lantai dengan instalasi yang memperesentasikan dua patung perempuan seakan bertolak pandang.
Ada foto-foto wajah dan objek lainnya yang berkesan kuno, terhampar dengan catatan-catatan di antara dua patung tersebut.
Satu patung perempuan digantung, seolah terbang melayang plus dua sayap dan patung lainnya terperangkap di bawah, mengenakan busana tradisional, tersandera di jaring-jaring laba-laba raksasa.
Amalia mengatakan nasib Kartini memang pilu. “Kartini terjerat dalam kungkungan adat Jawa, saat ia sendirian, ia selalu dicekam gelisah,” ujarnya.
Amalia ingin menggunakan strategi bertutur dengan ekspresi gestur tubuh dan posisi kepala patung yang dikatakannya “mendengungkan ketidakadilan, hasrat sekolah, dan bekerja seperti kakak lelakinya”.
Amalia membenturkan sebuah masalah ke dua patung itu, dengan kondisi sekarang dengan gestur patung perempuan “terbang” yang mencolok perbedaannya dengan patung yang tergeletak dan foto-foto perempuan dengan beragam atribut.
Amalia mempertanyakan cita-cita Kartini, “Apakah sosok bersayap itu simbol kebebasan pilihan edukasi, profesi, sampai pasangan dan gaya hidup seorang perempuan? Sementara ketidakadilan sosial hari ini terhampar di sekitar?”
Amalia mempertentangkan keperempuanan sekaligus berkeadilan sosial dalam intepretasi surat-surat Kartini itu dengan instalasinya.