Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dimas Oky Nugroho

Pengamat politik ARSC. Founder Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP)

Desir Cinta Kartini

Kompas.com - 25/04/2017, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAna Shofiana Syatiri

April 2017, sutradara Hanung Bramantyo merilis film "Kartini" yang dibintangi oleh artis Dian Sastro. Bagi saya, karya Hanung ini cukup baik menjembatani semangat Kartini dengan generasi kekinian.

Bukan karena Dian yang memerankan Kartini dengan lumayan baik. Namun karena pemikiran Kartini sesungguhnya bisa menjadi kunci memahami problem kita sebagai bangsa hari ini.

Respons terbaik dalam menghadapi angkara murka dan kegilaan zaman adalah dengan kejernihan pikir, kelembutan hati, keteguhan karakter, dan cinta kasih.

Kartini di penghujung abad 19 itu adalah sosok pemikir muda revolusioner yang melampaui zamannya. Ia mengkritik praktik-praktik feodal yang telah menindas kaum perempuan sebangsanya.

Ia juga menolak sistem liberalisme dan praktik ekonomi kapitalis saat itu yang merenggut kehormatan dan mengeksploitasi rakyat jajahan.

Kartini memuji gagasan-gagasan etik dan modern dari Barat, namun ia tak menginginkan bangsa yang dicintainya menjadi Barat serta-merta. Bagi Kartini, bangsanya harus tetap berpegang teguh pada kepribadiannya sendiri. Kartini membanggakan sifat-sifat asli bangsanya yang sejatinya agung dan halus.

Kepada Estell ‘Stella’ Zeehandelaar, seorang feminis Belanda yang juga sahabat penanya, Kartini menjelaskan betapa tinggi keindahan dan ketulusan yang dapat didengar dari rakyat bangsanya.

"Kebijaksanaan, kenyataan yang begitu jernih, dinyatakan dengan kata-kata yang sangat sederhana tetapi indah! Kami adalah demikian dekat kepada alam, asal dari segala-segalanya. Filsafat kami bukan pemikiran yang susah payah untuk dimengerti. Kata-katanya sederhana, tetapi betapa indah suara dan iramanya. Makin mendalam aku menyelami jiwa rakyatku, makin yakin aku keagungannya. Pada bangsamu orang-orang bijaksana dan pujangga hanya terdapat di kalangan tertentu, dan kebudayaan juga di klas-klas tertentu. Tetapi rakyat umumnya – bolehlah aku mengatakannya? – adalah kasar ..."

Pandangan Kartini terhadap Barat ini tentu tak lepas dari pengalamannya dalam menghadapi praktik kolonialisme yang saat itu tengah mencapai puncak dominasi dan eksploitasinya di Hindia Belanda.

Kartini hidup dan terjepit pada saat berlangsung bentrokan aliran pemikiran feodalisme vs modernisme. Bagi Kartini yang gundah, arus imperialisme modern yang datang dari Barat, bermuka dua.

Di samping mengakibatkan kemiskinan dan demoralisasi bagi rakyat, ia juga membawa unsur-unsur yang positif, yakni unsur-unsur modernisme dan pengetahuan Barat, yang merupakan faktor-faktor penting bagi kebangkitan dan progresifitas rakyat, serta untuk mematahkan kekangan-kekangan adat yang menghambat kemajuan.

Kartini memandang jalan pendidikan, sebagaimana sistem pendidikan modern ala Barat, bisa menjadi solusi untuk memerdekakan dan memajukan bangsanya, khususnya kaum perempuan dan rakyat miskin, untuk keluar dari kekangan, penindasan dan keterbelakangan.

Namun Kartini juga sadar bahwa 'hikmah kebijaksanaan' berupa spritualitas dan kebudayaan otentik bangsanya harus tetap dan selalu menjadi fondasi untuk menyeimbangkan dan menguatkan karakter-karakter dan mentalitas warga bangsanya.

Kartini memahami bahwa betapa pun Barat telah memberikannya banyak apresiasi dan pengetahuan baru, namun struktur dan rantai dominasi kekuasaan Barat adalah sesuatu yang kokoh dan agresif.

"Banyak sekali orang Belanda termasuk sahabat yang paling karib, yang bermusuhan terhadap kami. Sebabnya tidak lain hanya karena kami menyamai mereka dalam pengetahuan dan peradaban. Itu dinyatakan dengan cara yang menyakitkan. Aku Belanda, kau Jawa! Atau dengan kata lain: aku yang berkuasa, kau yang dijajah!"

Spiritualitas Kartini

Dalam biografi yang ditulis Sitisoemandari Soeroto (1970), Kartini menyatakan pentingnya spiritualitas untuk menopang diri dan bangsanya. Ia meyakini bahwa sejatinya Allah, Tuhan Semesta Alam, adalah di dalam diri sendiri.

Kedamaian adalah ketika mampu mensyukuri kehidupan, alam semesta dan segala isinya yang merupakan kreasi cipta dan cinta Allah SWT.

"Kami merasakan itu pada harumnya kembang dan dupa, pada bunyi gamelan, pada berdesirnya angin di atas pohon kelapa, pada manggungnya burung perkutut, pada desiran pohon padi yang ditiup angin, pada bunyi lesung saat orang menumbuk padi."

Kartini mengajak bangsanya untuk di mana saja selalu belajar dan membuka diri terhadap ilmu pengetahuan baru, namun pada saat yang sama tetap mencari dan dapat menemukan kedalaman dan kekuatan pijakan melalui nilai-nilai kebajikan bangsanya.

Kepribadian Kartini ini mampu menangkal dirinya untuk tidak hanyut dalam gelombang kebudayaan asing, melainkan karakter jiwanya menyelami dan menghayati pandangan hidup, keindahan otentik dan spiritualitas bangsanya.

Kartini menerima penderitaan dan keterbatasan yang ia alami dengan kesadaran: "...mengurang-ngurangi, menderita dan berpikir menuju kepada terang. Tidak ada terang, bilamana sebelumnya tidak ada gelap. Mengurang-ngurangi adalah kemenangan sukma atas wadag. Kesepian mengajar untuk berpikir".

Khusus pada bagian ini menunjukkan dengan jelas bahwa, bagaimana pun tertarik kepada dunia modern, ia tak akan dapat lepas dari 'kawruh' sebagaimana hanya dapat dihayati oleh bangsanya yang introspektif dan memberikan arti yang dalam pada simbolik.

Banyak orang hanya dapat melihat bagian luar atau kulit dari sesuatu yang simbolik dan tidak dapat menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami esensi maka pemikiran, jiwa dan perasaan, serta tindakan menjadi serasi, seimbang dan penuh cinta. Dan kelanjutan keserasian akan mengantarkan kepada kesadaran untuk guyub dalam semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Atau dengan kata lain menjadi seorang nasionalis dan humanis.

Apa yang terjadi dengan Kartini sesungguhnya masih relevan dengan kita yang hidup pada hari ini. Globalisasi telah mengantarkan arus besar pertukaran yang massif, tak hanya barang dan manusia, tapi yang terpenting pula adalah pemikiran.

Kita terhimpit di antara dua arus besar, antara apa yang disebut sebagai 'old politics' dan 'new politics'. Kita berada di persimpangan antara yang transnasional dan yang nasional/lokal. Kita berada di tengah pusaran identitas dan energi partikularisme yang begitu provokatif, ekstrem dan konfliktual, eksklusif namun rentan termanipulasi, terpolitisasi.

Sebagai bangsa, berbagai pemikiran dan idelogi baru yang datang nyaris tak tercegah harus dapat kita hadapi dengan kejernihan, keluhuran sekaligus kehati-hatian, kecerdasan dan ketegasan karakter. Di atas semuanya, sebagai satu bangsa yang pernah terjajah sekian lama, mustahil kita maju dan kokoh dalam melangkah jika lemah, terpecah dan tak punya pijakan bersama.

Melalui Kartini, kita menyadari bahwa kita haruslah memiliki visi moral dan kemajuan, pandangan hidup dan komitmen pada nilai-nilai sejati, serta kekuatan mental nan kokoh. Bagi seorang yang mengaku dirinya adalah anak bangsa nusantara, jiwanya dipenuhi oleh hikmat kebijaksanaan dan rasa cinta yang berpihak pada kebenaran, kemanusiaan, keadilan dan persamaan.

Sepintar-pintarnya manusia, jika karakternya lemah, ia tak akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu, wahai para pemimpin, hiduplah bermanfaat, jadilah teladan.

"Aku bangga namaku disebut senafas dengan rakyatku, di sanalah tempatku untuk seterusnya".

Menjadi Indonesia dengan karakter kesejatiannya, itulah desir cinta dari Kartini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau