JAWABAN atas judul esai tentu saja tak hanya mungkin, tapi niscaya. Keriuhan percakapan di media sosial dan “politisasi agama” sempat merenggutnya.
Semangat transedensi yang disandang terpinggirkan sementara oleh kehausan profanitas, ketamakan dunia dan berbagai agenda politis manusia yang melahirkan: Islamophobia. Islam dijauhkan dari kemanusiaan, yang sifat azalinya dihimpun oleh energi-energi suci.
Bagaimanapun, jika menilik sejarah, Islam tak tergoyahkan oleh keanggunan parasnya. Sebagai risalah kebenaran yang diturunkan dari langit, Islam diberi “jubah sempit” di Indonesia pun di sepenjuru jagat abad ini.
Orang-orang tak diberi ruang yang cukup untuk menikmati keelokannya. Sudah waktunya, hari ini kita mengetuk pintu-pintu khasanah agung jiwanya yang lain: seni Islam.
Mereka yang bertekun mengekstrak hatinya, menyentuh Islam tidak hanya merujuk secara tekstual saja di Kitabullah, namun dengan aforisme yang khusyuk dari sajak penyair Sutardji Calzoum Bachri, pastilah merasai ekstase spiritual ini:
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
tujuh puncak membilang-bilang
nyeri hari mengucap-ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alif bataku belum sebatas Allah
Ibnu Sina, Al-Jurjani, serta Ibnu Arabi menyatakan bahwa asal usul karya seni semata imajinasi kreatif seniman. Yang merupakan wakil ‘alam al misal (alam misal), dan alam misal berfungsi menjadi barzakh (perantara) atas ‘al-nasut (alam kemanusiaan) dengan ‘alam al-lahut, yakni semesta ketuhanan atau transendensi.
Tak pelak, seni adalah hasil kreativitas manusia yang memesona inderawi kita. Yang kemudian, mendekatkan pada dzat-Nya, seperti juga sajak-sajak legendaris memukau diwan Jallaludin Rumi yang kita kenal di Masnawi.
Meski sempat ditentang para ulama lain pandangan para Sufi itu pada abad ke-15, barulah kemudian pada abad ke-16 memunculkan ulama yang diterima oleh hampir semua dunia Islam (Persia, Arab, Turki dll), yakni pelukis cum kaligrafer Qadi Ahmad, dengan sajaknya yang memikat:
Tuhan mencipta dua jenis kalam
Yang satu dari tetumbuhan, memukau jiwa
Dan menjelma batang tebu bergula
Dari tunasnya memutik seni khat memesona
Yang lain berasal dari hewan
Yang kilauan sinarnya bak permata
Memancar dari sumber air hayat
Yaitu kuas untuk membuat lukisan
Sastrawan dan sarjana Islam kita yang disegani, Abdul Hadi WM, menyebut bahwa kalam pertama Qadi bertalian dengan kaligrafi (khat) dan seni hias tetumbuhan. Kalam kedua berkenaan dengan lukisan miniatur, yang menyajikan gambar makhluk hidup atau figur tokoh-tokoh bersejarah.
Ujaran-ujaran Qadi Ahmad, sebagai perintis penting perkembangan seni rupa Islam, yang memberi amunisi penuh perkembangan khasanah Islam yang agung tersebut.
Pada perspektif lain, Qadi meletakkan klaim kokoh, gambaran makhluk hidup bukanlah tabu dalam seni Islam. Yang kemudian, dengan sangat progresifnya, Islam menerima pula secara terbuka, terlebih pada abad ke-18 dan ke-19, terutama di wilayah Arab, Persia, Afrika, sampai akhirnya pada Islam di Nusantara terimbas pengaruh.
Pada abad-abad yang sama pula, peradaban Eropa terinspirasi arah jiwa “orient” yang memengaruhi nama-nama besar pelukis seperti Rembrandt, Delacroix, sampai Matisse.
Mereka ini berhutang pula pada dunia seni Islam, utamanya seni miniatur Islam, yang mengekspose gaya figuratif, geometri, maupun bentuk-bentuk esensial secara abstraktif tubuh manusia dan alam yang bersentuhan pula dengan seni Islam di China, Tibet maupun India.
Tassawuflah, sebagai hulu yang dibawa Qadi akhirnya memazmurkan khasanah seni Islam modern yang setara dengan peradaban Barat lainnya berabad-abad kemudian. Kita akan selalu mengingat, bagaimana sastrawan kampiun dunia Barat, Goethe, sangat memuja Nabi Muhammad SAW.
Islam, kukuh memanggungkan keindahan transedental dan tak tertolak oleh kalbu seniman bukan?
Seni rupa Islam kontemporer
Perkembangan seni kontemporer kita, di Tanah Air, tak hanya menampakkan warisan seni modern dari perkembangan seni Eropa yang kemudian mendunia dan bertemunya dengan khasanah budaya Islam Nusantara.
Seperti kita lihat di karya-karya perupa Ahmad Sadali, Pirous, sampai Amang Rahman sebagai misal. Namun, juga sangat dipengaruhi pada era dimana Kuntowijoyo, mengenalkan konsepnya dengan sastra profetik pada 90-an.
Konsep itulah, yang bisa jadi cikal-bakal kita memahami arah perkembangan karya-karya para perupa pada era tahun 2000-an ini.
Hal itu kadangkala, justru melawan nilai-nilai kemanusiaan, selain kelinglungannya menghadapi menguatnya seni Timur, dengan representasi China dan India.
Sebenarnya, terbuka ruang cukup luas tumbuhnya seni kontemporer Islam, khususnya Islam Nusantara di Indonesia.
Globalisasi memberi energi Kuntowijoyo dengan konsep profetiknya, sejak lama, ia memberi sinyal bahwa selain transendensi-ketuhanan, seni profetik memberi keluasan kemanusiaan, kebebasan menerima ilmu pengetahuan anyar serta wujud sosiologisnya: kesalihan sosial.
Manusia tak bisa tercerabut dari kemanusiaanya sebagai makhluk sosial dan personal, yang pada akhirnya mengerucut pada ketundukan yang mutlak pada sang Penciptanya. Sejak Festival Istiqlal, yang dihelat oleh rezim Orde Baru pada 1991 dan 1993, hanya ada sejumlah kecil peristiwa besar seni Islam kontemporer dihelat.
Menurut catatan penulis, pada 2011 ada eksibisi besar pameran seni rupa Islam “Bayang”, di Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang mewadahi ratusan partisipan perupa yang menafsirkan wajah seni Islam.
Kemajemukan karakter karya yang ditampilkan dengan penerapan kuratorial yang cair memberi kekuatan dengan presentasi penjelajahan eksplorasi dengan hasil yang tak terduga dan segar. Digelar oleh alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kekuatan keberagaman dan persebarannya jenis karya menghadirkan, contohnya “seni rupa Islam klasik” dengan berbasis pada teks Al Quran, yakni kaligrafi.
Karya abstrak-anthromorphik tiga dimensional yang gigantik (instalasi- video) mengundang kekaguman juga menampak, milik Narsen Afatara. Yang lain, presentasi cukup menarik ditampillkannya narasi spiritual dengan tuturan puitik seperti instalasinya Gabriel Aries atau patungnya Wilman Syahnur.
Selain itu, instalasi bambu-bambu besar dan susunan telur yang seolah belum menetas atau sudah terbuat dari bahan resin milik Hadi Siswanto cukup menggelitik. Bagi para perupa muda, kecairan kuratorial pameran ini juga menjadi ajang demonstrasi eksplorasi media.
Seperti yang ditunjukkan oleh Bagus Pandega dengan memakai pita kaset, disusun sedemikian rupa menyerupai ornamentasi pintu gerbang masjid atau Banung Grahita dengan animasinya yang terasa puitis nan religius.
Tak ketinggalan, perupa Tisna sanjaya yang mengkritisi budaya Islam dengan “rumah seng” yang dicorat-coret merepresentasikan kegundahan Islam dan “rumahnya” yang ideal di Indonesia.
Empat tahun kemudian, kita menyaksikan Pameran “Matja: Membaca Seni Wali-Wali Nusantara” pada 2015, yang diikuti perupa seperti Nasirun, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Mustofa Bisri, Lucia Hartini, Stefan Buana, S Teddy D, Bunga Jeruk, Jeihan, Entang Wiharso, Ivan Sagita, Agus Suwage, Heri Dono dll.
Pameran ini, adalah peringatan menuju Muktamar organisasi Nahdatul Ulama (NU) di Jogja National Museum (JNM).
Sementara itu, dua tahun kemudian, Mei lalu usai dipergelarkan hajatan tahunan pameran lukisan kaligrafi “Tafakur” pada 20-30 Mei 2017 di galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan partisipan peserta seperti Ilham Khoiri, Achmad Noe’man, Oky Alfie, Badrus Zaman dll yang diselenggarakan oleh Istitut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan Lembaga Kaligrafi Al Quran yang dipimpin Sirojuddin AR.
Penulis mungkin luput mencatat pergelaran-pergelaran seni Islam kontemporer lain di Indonesia, yang bisa jadi cukup berpengaruh. Di lain pihak, dalam dunia industri, galeri komersil, jika tidak salah Artsociates menggelar beberapa art fair untuk seni kaligrafi dan seni rupa Islam di sejumlah tempat.
Selebihnya, pameran-pameran solo atau karya-karya para perupa secara sporadik memunculkan seni rupa Islam yang mencerahkan, seperti awal 2000-an, kita bertemu perupa Tita Rubi, di Galeri Cemara 6, Jakarta mempresentasikan pameran berjuluk “Bayang-Bayang Maha kecil”.
Tita membuat karya yang menyentuh hati, patung-patung bayi kecil dengan “rajah” huruf-huruf Arab yang merupakan narasi bahwa manusia semenjak lahir selalu terbawa doa-doa Ibu dan bapaknya.
Yang lainnya, dalam beberapa kesempatan, seperti di Biennale Jogja 2011, perupa perempuan lain, Arahmaiani mementaskan teks-teks huruf Arab raksasa tiga dimensi bermateri guling-bantal, cukup inspiratif dan segar.
Yang lainnya, Lenny Ratnasari Weichert, pada 2016 di GNI, di Jakarta menggelar karyanya yang puitik “Homage to Anonymous” yang mengungkap sejarah penyebar agama Islam pertama di Tanah Air, Fatimah Binti Maimun, yang bukan Wali Songo, pada masa Masapahit dalam pamerannya solonya “Pilgrimage”.
Sedangkan lainnya, mungkin lusinan gelaran seni namun tidak merupakan pameran raksasa dengan tema utama Islam dan seni Islam kontemporer yang bisa kita jumpai.
Festival Istiqlal sebuah urgensi?
Inilah waktunya pemerintahan Presiden Jokowi tak hanya berkata: kerja, kerja, dan kerja saja. Selayaknya menimbang dengan matang dan membuat visi, tatkala Islam dengan kekuatan besarnya secara politis dalam beberapa tahun terakhir menampak jelas di permukaan.
Kebimbangan, mungkin meruap, muncul menyibak keraguan, akankah kekuatan Islam destruktif? Jawabannya, tentu saja tidak dan tidak pernah akan terjadi.
Budaya Islam selama berabad-abad menghuni kepulauan tropis ini, dalam sejarahnya justru menampakkan keagungannya bahkan di era kolonialisme dan menjelang kemerdekaan, seluruh kekuatan Islam bersatu.
Membangun dengan kekuatan porosnya pada budaya, politik dan ekonomi yang mengkristal menjadi satu. Membebaskan negeri ini dari penjajahan.
Memberi makna keindonesiaan dan melahirkan ideologi Pancasila, adalah sebuah harga yang “kekal” tentunya bagi Islam.
Dengan demikian, kekuatan budaya, dalam konteksnya kesenian sudah layak diberi ruang lebih luas, sebuah urgensi yang mengatakan pada dunia Islam Indonesia ada dan tetap mengakar jauh kedalam dada, terus berkabar pada dunia.
Festival Istiqlal 2018 harus digagas sebagai gelaran festival raksasa, perwujudan ekspresi khasanah kultural, seni-seni pertunjukan, seni rupa, kriya, sastra, arsitektur, seni musik, film dll yang memberi wajah kita peradaban Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah serta Afrika.
Sementara itu, kita menoleh sejenak, jauh sebelum Republik ini berdiri, dalam catatan Pigeaud di Literature of Java, syiar Islam di Jawa pada abad ke-15 sangat bergelora, yang menakjubkan adalah gejala kegiatan pertukangan, kerajinan, serta penciptaan seni-seni Islam di bandar-pelabuhan utama, juga pusat-pusat pendidikan.
Pencatat lain, Tom Pires, seorang Portugal, yang menjenguk Tuban, Jawa Timur pada buku Summa Oriental, di sana menurut Pires penduduknya masih banyak beragama Hindu, kemudian beberapa tahun Islam secara damai merebak dengan cepat.
Johns dan Pigeaud sepakat, Walisongo adalah penghulu para seniman Jawa. Khususnya, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Baca juga: Asia Tenggara di Gelaran Venice Biennale Ke-57
Mereka berdua adalah local genius pada lapangan kebudayaan. Mereka bertanggung jawab pada kemampuan menciptakan, membuat inovasi anyar dalam seni bernafaskan Islam, yang sangat khas Islam Jawa.
Ritual Maulidan, Sekaten di Yogyakarta, penemuan tradisi Lebaran, hari raya Ketupat, memperkenalkan kalender baru, yang mengubah kalender Saka menjadi disesuaikan dengan Islam. Seni pertunjukan wayang kulit, gamelan Jawa yang menjadi kontemplatif dan pencak silat juga digubah baru dan dikembangkan menurut asas-asas estetika sufistik.
Sunan Bonang, lebih menonjol, dalam susastra ia mewariskan Suluk Wujil yang terkenal itu bernafaskan tassawuf; bagi orang Jawa dianggap sesuai dengan aforisme-aforisme yang khas dan paradoks.
Sebagai seorang “militan” dalam pewayangan, Sunan Bonang menciptakan karya yang fenomenal dalam keyakinan Jawa Islam, yakni lakon Mahabharata yang Islami plus metafora-metafora, bahwa keniscayaan medan perang dua keluarga besar Pandawa dan Kurawa, sejatinya adalah nafi (peniadaan) dan isbat (peneguhan).
Nafi adalah sanggahan terhadap tiada Tuhan, isbat adalah peneguhan iman pada Yang Satu. Keduanya melebur dalam pertarungan di batin manusia, yang kemudian melahirkan frasa syahadat: la ilaha illa Allah yang menggentarkan kalbu itu.
Dengan bukti-bukti di atas, masihkah kita sangsi, memahami bahwa pondasi kebudayaan Indonesia adalah setarikan nafas dengan keanggunan Islam?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.