KECERAHAN warna-warni kostum aktor maupun aktris panggung teater berubah muram. Wajah kecewa, perasaan hampa, dan jiwa pemberontakan dahsyat, bergelora pada orang-orang yang bersiap “orgasme” di panggung pertunjukan.
Tapi…, sebuah keputusan ditentukan oleh instansi pemerintah dan aparat keamanan justru usai pentas gladi resik. Tentara dan polisi berpakaian preman berjaga-jaga di sekeling Tiara Convention Centre (TCC), Medan.
Wajah kecewa bukan hanya milik aktor, aktris, sutradara, art director, penata cahaya. Tapi juga penonton yang membeli tiket, dan ingin mendapat pencerahan (enlightenment) dari lakon Sampek Engtay oleh Teater Koma.
Sebagai jurnalis, yang juga bergiat melakoni teater dan aktivitas sastra, pelarangan pada 20 Mei 1989 itu membuat hampa dan dada terasa sesak. Esok pagi, pelarangan pentas ini terpajang sebagai headline.
Melalui ‘kaki-tangannya’ di militer, Orde Baru sedang merapikan masa-masa kejayaannya, dan hanya segelintir tokoh yang berani “melawan” secara terbuka.
Baca juga: Teater Koma Lakonkan "Sampek Engtay" pada Pementasan ke-101
Di antara orang-orang kecewa dan “melawan” penguasa melalui pentas teater, terdapat Nano Riantiarno. Ia tertegun dalam kebisuan. Riantiarno seperti menyimpan kemarahan dahsyat di dadanya.
Ia paham betapa ini wujud kezaliman penguasa masa itu. Tapi apa mau dikata, ibarat pepatah ‘nasi sudah jadi bubur’.
Semua risiko harus dihadapi, apalagi bila hanya perasaan kecewa. Risiko yang menyebalkan, termasuk harus berurusan dengan aparat keamanan setempat.
Sesungguhnya, di balik kekecewaan aktor Teater Koma maupun penonton, ada sosok yang paling kecewa, dirugikan secara bisnis, bahkan entrepreunership-nya “dibunuh” secara paksa oleh sebuah rezim yang ‘emoh’ dibantah—sekalipun ini hanya tontonan panggung.
Sosok bertubuh bongsor, cermat dalam ide bisnis maupun promosi kesenian yang ia cintai. Sebagai maecenas, ia memahami ‘uang hanya sebagai alat tukar’, namun ia ‘berkelas’ secara pemikiran maupun performance sehari-hari.
Meski kalkulator telah menghitung angka-angka kerugian finansial, ia berupaya cooling down, tawadu, dan memahami kekecewaan motor komunitas Teater Koma maupun penonton setianya di Pulau Sumatera.
Saat itu, Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia. Sedangkan tempat pentas adalah hotel termegah di Pulau Sumatera, pulau kedua terbesar di Tanah Air.
Tak ada guna bersitegang urat leher dengan sejumlah aparat di sekitar panggung sebab mereka bukanlah pembuat keputusan agar pentas bisa berlangsung. Di tengah isak tangis yang tertahan, handy talky aparat bersiliweran, memekik di balik semua perasaan kecewa orang-orang yang hadir.
”Laporan Komandan, semua tugas sudah kami rapikan. Sampek Engtay tidak jadi pentas, rekomendasi dari Kanwil Depdikbud dibatalkan. Kami juga sudah berbicara dengan promotor pentas Ali Djauhari, dan ia dapat memahami keputusan Komandan mencabut izin,” terdengar sayup-sayup suara seseorang berbicara setelah “roger”….”roger”.
Ia mungkin berbicara dengan staf senior intelejen di Kodam Bukit Barisan, atau mungkin dengan dengan Kadit Intelkam Polda Sumatera Utara. Bagi saya itu tidak penting, sebab perasaan kecewa yang dilalui Teater Koma, penonton, Ali Djauhari selaku maecenas, adalah juga kekecewaan saya juga terhadap rezim demagog ini.
Jauh sebelum kegagalan pentas Teater Koma, AJP (Ali Djauhari Production) lebih awal menghadirkan Arifin C Noer dalam dramatic reading di TCC. Penyair WS Rendra pun pernah membaca puisi di hotel tersebut atas sponsor AJP. Karya lain yaitu Teater Kartupat menampilkan Perempuan Perkasa dan Nomensen Koor Mesiah.
Bahkan AJP pula yang ikut membantu Iwan Fals keliling pulau Sumatera, “membumikan” lagu-lagu balada dahsyat bernada protes terhadap kekuasan yang jumawa. Lagu Iwan Fals seperti Bento yang legendaris pasti membuat ‘kuping panas’ orang-orang di lingkar satu kekuasaan.
Kantong kesenian
Masa itu, tahun 1980-an, pergerakan aktivitas kantong-kantong kesenian di Medan berbuah seperti kebun sawit tumbuh secara subur di Tanah Sumatera. TBM atau Taman Budaya Medan (kini Taman Budaya Sumatera Utara), selalu ramai oleh kelompok-kelompok teater seperti Teater Nasional, Teater Imago, Teater Que, Teater D’lick, Teater Merdeka.
Masih ada kantong kesenian lain yaitu Teater Propesi, Teater Kartupat, Teater Nuansa, serta di daerah seperti Lubuk Pakam, Kisaran, Tanjung Balai, Padang Sidempuan.
Di luar TBM, ada pusat kesenian Tapian Daya. Di Bidang lukisan ada Simpassri (simpaian seniman senirupa Indonesia) yang punya gedung pameran dan workshop di tengah kota.
Dinamika kesenian kota ini menggeliat melalui upaya masing-masing, tidak terlalu mengandalkan project pemerintah. Keterpanggilan sebagai pelakon aktivitas kesenian jauh lebih berharga dibanding kesudian ‘berselingkuh’ dengan oknum birokrasi.
Urun rembug dari kantong pribadi, atau bantuan donatur, simpatisan, relasi, jauh lebih berharga ketimbang ‘menghamba’ kepada juragan di kantor-kantor megah, apalagi kepada Wali Kota maupun Gubernur.
Kawan-kawan di sini tidak berhitung soal pengorbanan demi memenuhi hasrat berkesenian. Bagi sebagian besar mereka, seni bukan tempat menafkahi diri dan keluarga, namun suatu wujud ekspresi kemanusiaan, peradaban, sentuhan artistik, dan ekstase dari kejumawaan penguasa.
Perlawanan itu juga dengan bermacam cara, termasuk mendatangkan penyair-dramawan W.S. Rendra untuk baca puisi di TBM, dan berujung dengan pemutusan aliran listrik TBM. Ujungnya sudah dapat ditebak, penanggung jawab acara harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Suburnya aktivitas kesenian seperti teater, musik,seni tari, kesusastraan, seni rupa, berpayung di dua tempat, yaitu TBM dan Tapian Daya. Sedangkan perfilman di Sunggal, nyaris “mati suri”.
Perangkai semua aktivitas kesenian, tiada lain surat kabar dan majalah yang terbit di Medan—pada masa itu Medan merupakan penerbit surat kabar paling banyak di Tanah Air, setelah Jakarta.
Surat kabar Waspada punya rubrik tetap "Cerita Bersambung" (novel), rubrik budaya setiap Rabu dan diasuh oleh jurnalis-sastrawan As Atmadi, serta rubrik puisi "Abrakadabra" pada edisi Minggu, dan juga ruang "Cerita Pendek" ala remaja.
Harian Analisa punya rubrik budaya "Rebana" yang diasuh jurnalis Dalika Tadaus, SK Mimbar Umum juga punya rubrik budaya setiap Minggu dan diasuh oleh sastrawan-jurnalis AA Bungga.
Aktivitas budaya harian Sinar Indonesia Baru (SIB) dimotori oleh jurnalis-pengarang Bambang Eka Wijaya. Harian Bukit Barisan juga punya motornya yaitu A Rahim Qahhar.
Gairah menulis kreatif di Medan benar-benar subur, menampung karya anak-anak muda bukan hanya Medan, tapi juga dari provinsi dan kota lain seperti Aceh, Riau, Palembang, bahkan Jakarta.
Secara istimewa di bidang puisi, "Abrakadabra" adalah tonggak penting lahirnya sejumlah penulis puisi. Dukungan keluarga Mohammad Said dan Ani Idrus sebagai pemilik Waspada Group, besar kontribusinya bagi literasi media, dan kesusastraan, khususnya puisi.
"Abrakadabra" yang dibidani oleh jurnalis-sastrawan Izharry Agusjay Moenzir, tak pernah absen tiga dekade. As Atmadi dan Sugeng Satya Dharma adalah pengasuh penerusnya. Kontribusi Waspada dan surat kabar lain juga dalam penerbitan novel, komik, ilustrasi sketsa sosial.
Semangat literasi media dan kesusatraan terbentang dengan adanya kantong-kontong aktivitas kesenian, dan literasi media melalui penerbitan surat kabar. Majalah Dunia Wanita, tercatat sebagai salah satu majalah tertua di Tanah Air masa itu, diasuh secara estafet oleh As Atmadi, Eddi Elison dan Izharry Agusjaya Monzier sebagai Managing Editor—menerbitkan suplemen tebal dua antologi puisi "Abrakadabra" yaitu Duri, dan Perempuan-perempuan.
Dalam sebulan Taman Budaya Medan pasti melakukan aktivitas diskusi sastra, penampilan tari maupun pentas teater. Benang merah pertumbuhan kesenian di Medan sebagai ‘kiblat’ aktivitas seni provinsi tetangga dan kota-kota satelit sekitarnya, sukar untuk diabaikan.
Pada masa itu, kunci kontribusi kesenian maupun kesusasteraan tak terlepas dari sejumlah aktivisnya yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Mata rantai ini tumbuh hingga ke akar paling jauh, membuka semangat literasi media, kesusastraan, wawasan kebangsaan, dan keterbukaan cakrawala pemikiran.
Lopo atau warung-warung kopi yang tumbuh di pinggir jalan, desa-desa kecil di kecamatan, lazim menyediakan surat kabar sebagai ‘menu’ pelengkap, menyelingi perbincangan topik hangat pengunjung atau masyarakat marjinal—tradisi folklor yang tumbuh jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Jeritan kesusahan rakyat melalui puisi, intrik politik kekuasaan, keterbungkaman suara kebenaran, dibahas sahut-menyahut di lopo, kedai, kantong-kantong kesenian maupun rubrik budaya surat kabar.
Tradisi kecerdasan masyarakat terasah secara natural, melalui wacana intelektual media cetak maupun melalui kantong-kantong aktivitas kesenian.
Forum kecerdasan
Satu kota yang sangat penting di dalam pertumbuhan literasi media, termasuk aktivitas kesenian, kesusastraan, tradisi lisan maupun seni modern pada tahun 1980-an, tiada lain kota Padang di Sumatera Barat.
Sebagai pusat penggodokan wacana intelektualitas hadir SK Haluan yang juga punya rubrik budaya reguler, harian Singgalang, dan koran Semangat. Sejumlah pengasuh rubrik budaya dan tulang-punggung media tersebut adalah jurnalis-sastrawan.
Rubrik "RMI" (Remaja Minggu Ini) dan budaya tiap Selasa, diasuh oleh jurnalis-sastrawan Rusli Marzuki Saria. AA Navis, Chairul Harun, Hamid Jabbar, M Joesfik Helmy, Indra Nara Persada, dan Hasril Chaniago, adalah sosok yang bukan sekadar jurnalis ‘tukang’, tapi mereka adalah handcraftman atau perajin setia—membingkai tanah menjadi tembikar, besi menjadi pedang samurai, batu cincin jadi permata.
Di harian Semangat ada sosok Hotman Pardede, seorang pelukis cerita bergambar dan ilustrator yang sangat popular masa itu bagi pembacanya .
Sebagai pusat kesenian modern maupun kesenian tradisi, pertarungan gagasan budaya, wacana intelektual, TBP atau Taman Budaya Padang (kini Taman Budaya Sumatera Barat) adalah tonggak penting bagi panggung maupun atribut kesenian di sini.
Sedikitnya dua kali dalam sebulan, diskusi berlangsung di panggung teater, di sanggar tari maupun ruang pamer seni rupa. Tonggak penting teater modern di sini, di antaranya Bumi Teater yang diasuh oleh Wisran Hadi.
Anggota Bumi yang memilih mendirikan grup baru seperti Teater Dayung-dayung, Sanggar Bojo (teater – musik – sastra), Teater Semut, Sanggar Pasamaian, Teater Muka, dan lainnya.
Tiga pementasan Sanggar Bojo seperti Oidipus Sang Raja, Antogone (karya Sopochles yang tersadur oleh WS Rendra), dan Dukun Palsu karya Moliere, memberi kontrubusi bagi kesenian di Sumatera Barat. Usai pementasan dibedah dalam forum diskusi terbuka.
Masyarakat Minang yang memiliki tradisi oral maupun wacana intelektual yang kental, hampir selalu mewarnai diskusi, debat gagasan maupun semangat berbagi, secara kolegial.
Di lain sisi, Eri Mefri dengan Nan Jombang Dance Company juga tengah merintis aktivitas tari di TBP. Lomba deklamasi selalu ramai peminat, ajang latih olah vokal dan gesture para deklamator.
Nama-nama seperti Asbon Budinan Haza, Oce 82,Muhamad Ibrahim Ilyas, Armen Suhasril, Ilhamdi ‘Boy’ Sulaiman, Junaidi Usman, Aidil Usman adalah segelintir deklamator yang sangat kuat performance-nya.
Sebagai pengayom aktivitas kesenian di Padang masa itu, tidak bisa diabaikan peran Dr Mursal Esten sebagai Kepala TBP. Mursal bukan hanya birokrat, dosen, dan kritikus sastra terkemuka masa itu. Ia juga tokoh yang sangat menghargai pertumbuhan wacana intelektualitas melalui debat, diskusi, dan memang tradisi diskusi sangat ‘fasih’ masa itu di TBP atau kadai Om Fahmi.
Mursal memberi kesempatan beberapa grup kesenian seperti Teater Dayung-Dayung, Sanggar Bojo, Teater Semut, Teater Muka, Sanggar Pasamaian, dapat membuat sanggar di TBP, dan sekaligus berfungsi sebagai ‘rumah’ yang sesungguhnya bagi seniman modern.
Generasi setelah Mursal, peran Mustafa Ibrahim juga patut dicatat sejarah dalam memupuk bakat mengarang, berkesenian, melahirkan semangat egaliteraian maupun wacana intelektualitas. Kehadiran sastrawan Leon Agusta, memompa semangat intelektualitas melalui Kemah Sastra yang beberapa kali diadakan.
Leon yang sering hadir di Padang dari Jakarta, selalu men-challage anak-anak muda berkiprah, membuka wawasan literasi dunia, dan kecanggihan kreativitas. Leon Agusta salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan (1964) pernah menjalani hukuman penjara tujuh bulan di Tanah Merah, Pekan baru, tahun 1970.
Peristiwa Malari (1974) membuat ia sempat ditahan di Padang. Setelah mengikuti Internasional Writing Program di Iowa City, Leon Agusta mengembara di sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Pengalaman pengembaraan ini, ia tularkan melalui diskusi yang intensif. Namun di ujung usia, kehidupan Leon tak sebesar nama maupun karyanya.
AA Navis juga memberi kontribusi yang kental bagi pengarang berusia belia. Navis dengan kredo sinikalnya seperti “Bodoh se alun, baa lo ko jadi pintar”, atau “belum sadar juga sebenarnya bodoh, bagaimana pula mau jadi orang cerdas”, membuat kuping sebagian orang merah.
Tapi, itulah keterus-terangan ‘Urang Minang’ di dalam membangun semangat literasi media, kesenian maupun kesusastraan di tengah masyarakat. Di lain sisi prakarsa Indra Nara Persada dan mendapat dukungan Chairul Harun sebagai petinggi harian Singgalang, melahirkan penulis muda usia dan menjadikan Singgalang sebagai kawah candradimuka.
Bahkan beberapa kali pertemuan dan diskusi penulis belia di kantor Singgalang di Jalan Veteran Padang, selalu menularkan semangat dan kebebasan berkarya.
Tangan dingin Indra Nara Persada, memberi ruang kreatif yang luas, transparan, dan bebas patron dalam menampung karya sastra para pemula. Indra yang juga anggota Bumi Teater, bukanlah pengasuh rubrik sastra yang butuh pengikut setia sehingga harus selalu patuh pada ego maupun kemauan dirinya selaku penjaga gawang rubrik.
Maecenas
Kembali kepada sosok bertubuh bongsor dan performance-nya berkelas. Walau entrepreunership-nya “ditebas” oleh rezim penguasa masa itu, ia tetap setia mengalirkan kontribusi sosial terhadap kesenian dan kesusasteraan di Tanah Air.
Saat sejumlah kawan menggerakkan semangat literasi melalui KaSuha (Kampanye Seni dan Humaniora untuk Aceh) tahun 1999, Ali Djauhari hadir sebagai penyandang dana agar dapat mewujudkan cita-cita ekspresi karya seperti penerbitan buku atau antologi puisi.
Tak perlu berlembar-lembar proposal seperti diminta birokrasi saat sastrawan mau meminta kontribusi dana pemerintah, Ali Djauhari bersama keikhlasannya, memberikan kontribusi konkrit.
Sejumlah aktivis seperti Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Mayasyak Johan, Beathor Suryadi, atau akedemisi seperti Dr Kastorius Sinaga, Dr Fajri Alihar, pelukis Lian Sahar dari Yogya, Wisran Hadi dari Padang, dan Leon Agusta, sering hadir di kantornya sekadar berbual kesenian, membahas politik mutakhir sambil menikmati cerutu Havana di senja yang temaram.
Sumbangsih Ali Djauhatri saat Fikar W Eda dan kawan-kawan menggagas KaSuha maupun buku antologi budaya Aceh Mendesah Sampai Jauh, sangat konkrit. Kampanye KaSuha pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh, memberi penyadaran masyarakat bahaya militerisasi di tengah peradaban manusia maupun bangsa-bangsa dunia.
Presiden Abdurrahman Wahid memberi apresiasi terhadap aktivitas KaSuha maupun sang maecenas Ali Djauhari. Pentas KaSuha di TIM atau Taman Ismail Marzuki pada April tahun 2000, sedianya dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Namun problem politik terjadi di Istana dan berakhir dengan melengserkan dua orang menteri, sehingga Gus Dur batal hadir secara mendadak. Sebagai penebus rasa bersalah Gur Dur, ia mengundang aktivis budaya untuk melangsungkan performance di kediaman pribadi Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Saat saya salah satu pengasuh program semi-dokumenter Nol Kilometer—perpaduan baca puisi (di antaranya Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sanggar Matahari) dengan feature—dirangkai secara apik oleh host Ade Novit.
Nol Kilometer tayang dua kali sepekan selama 6 bulan di prime time dan tanpa jeda iklan komersial. Beberapa topik Nol Kilometer secara kultural dirangkai dalam bingkai semangat otonomi daerah, pluralisme budaya, lintas wilayah.
Pemimpin redaksi Seputar Indonesia masa itu Djafar H Assegaff dan wakilnya Andi F Noya, memberi andil bagi penyadaran masyarakat agar ancaman disintegrasi dapat terusir. Itu sumbangsih dan wacana intelektual RCTI—yang tak boleh dilupakan sejarah Indonesia modern pasca-reformasi.
Meski RCTI dimiliki oleh anak Pak Harto, perdebatan seru di newsroom tidak pernah dimonopoili oleh seorang pemimpin redaksi, apalagi oleh pemilik perusahaan. Selalu ada siasat cerdik awak redaksi di dalam menyiasati pesanan berita para ‘dewa’ atau pemilik holding company yang menaungi RCTI masa itu.
Saat saya mendapat penugasan newsroom RCTI membuat semi-dokumenter mengenai penyebaran Islam melalui saudagar Minangkabau di Singkil, Aceh—Ali Djauhari yang putra Singkil secara halus malah menolak bicara.
Ia mengusulkan Dr Fajri Alihar sebagai narasumber. Fajri Alihar sebagai peneliti demografi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memang putra Singkil, mencatat peran ulama Abdurrauf Singkil atau Syekh Abdur Rauf as-Singkili sebagai ulama besar dan mufti pada Kerajaan Aceh di abad 17.
Meski Ali Djauhari kini fokus pada perdagangan di negara-negara Timur Tengah, ia tetap seorang maecenas yang secara intelektual melewati batas usianya.
Saat Kepala Anjungan Sumatera Utara di TMII, Tatan Daniel, dan etnomusikolog Rizaldi Siagian MA, menggagas kebangkitan Ronggeng Melayu— kesenian tradisi yang dulu hadir di Sungai Deli dan telah punah oleh pembangunan ekonomi, Ali hadir sebagai salah satu penyokong dana.
Rizaldi Siagian adalah konseptor dan sutradara Megalikum Quantum saat ulang tahun Kompas ke-45 tahun 2005, sedangkan Tatan Daniel—birokrat yang sebenarnya seniman—dapat menghidupkan anjungan bersama beragam aktivitas seni.
Alhasil kebangkitan semangat literasi media maupun berkesenian ini ditoreh pula oleh Tena atau Teater Nasional. Melalui pentas monolog Prita Istri Kita karya Arifin C Noer di TIM, Sabtu (16/9).
Tena adalah kelompok teater tua yang berdiri tahun 1963. Di antara pendirinya, Burhan Piliang, aktor dan sekaligus sutradara teater. Burhan yang pernah menjadi fotografer majalah Tempo dan majalah Prospek, meninggal dunia dalam insiden kecelakaan helikopter saat ia melakukan pemotretan bagi keperluan pemetaan wilayah.
Pernyataan Sori Siregar, pendiri Tena yang masih hidup, layak disimak. Pendiri Tena tidak ingin banyak dikenal, apalagi mengungkap jati dirinya. Cukup hanya nama dan karya mereka yang diketahui. Di antara pendukung utama Tena adalah komikus Taguan Hardjo—yang merelakan rumahnya sebagai tempat awal berkiprah.
Lebih tumbuh subur bila sosok yang punya kepedulian besar seperti maecenas Ali Djauhari, atau tokoh-tokoh yang melakukan pengasahan kepada publik seperti As Atmadi, Dalika Tadaus, Burhan Piliang di Medan, dan Mursal Esten, serta Wisran Hadi di Padang pada masanya.
Di Yogya suatu masa pernah ada Umbu Landu Paranggi melalui mingguan Pelopor Yogya. Orang-orang ini berada di panggung, namun panggung yang sunyi. Bukan orang yang ingin pribadi mereka menonjol, tapi karyanya yang berbicara kepada khalayak. Jauh dari atribusi maupun publisitas ala infotainment.
Melalui monolog Prita Istri Kita, Tena juga bertekad ‘membangkit batang tarandam’. Sebuah kerja yang tak sederhana, apalagi ringan. Bukan materialisme yang jadi ujung tombak semangatnya, melainkan ekspresi human being, jiwa-jiwa berkarya, dan lelah memeloti dunia politik Tanah Air dipenuhi semangat partisan, oportunis, dan para demagog.
Lelah menonton politisi super kaya tapi diperbudak kekuasaan, pengusaha yang berbisnis dalam koridor unfairness, dan orang-orang jumawa yang berbangga menyemai hawa nafsu rendah. Saya selalu ingat kata-kata Ali Jauhari, ”Uang bagi saya hanya sekadar alat tukar….”. Sebuah kesadaran ruang, dan waktu.
Di masa kini,dan masa datang, Republik yang sangat luas ini butuh banyak penggerak literasi media—yang tulus bekerja, maecenas yang tak hanya bersiasat dapat untung besar dan popularitas, dan orang-orang yang merindukan panggung sesungguhnya meski tempat terhormat bagi mereka hanya ‘panggung yang sunyi’.
Semestinya petinggi negara ini punya rasa malu dan menghargai sumbangsih Hamsad Rangkuti bagi literasi kesusastraan Tanah Air. Hamsad yang kini terbaring sakit di tengah kekurangan biaya berobat, negara seharusnya hadir sebagai induk semang yang sesungguhya bagi para pengabdi kebudayaan.
Baca juga: Sang Maestro Cerpen Hamsad Rangkuti Itu Kini Tergolek Tak Berdaya
Saya punya pengalaman tragis saat mengunjungi Leon Agusta terbaring sakit di RS Cikini tahun 2013, ia kesepian dan ‘papa’ dari segala-galanya, sampai ajal menjemput di kota Padang beberapa tahun kemudian.
Pembangunan kebangsaan bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur kebudayaan yang konkrit beserta amunisinya. Tak sedikit anak-anak muda bertalenta, akhirnya memilih jalan sunyi dengan meninggalkan Tanah Air, sebab negara lain lebih menghargai talenta maupun karya mereka.
Pekik Presiden Joko Widodo, "Saya Indonesia, Saya Pancasila” hanya jargon usang bila tidak mendapat ruang implementasi nyata. Bukankah revolusi mental yang sesungguhnya harus ada pada petinggi negeri, aparat birokrasi, aparat keamanan, aparat militer, penegak hukum, dan seluruh jajaran mereka.
Bukan pada rakyat yang lelah melihat keculasan politisi, oknum birokrasi maupun orang-orang super kaya memamerkan kecongkakan harta di tengah sebagian besar masyarakat kita yang masih miskin dalam arti sesungguhnya.
Literasi media dan literasi kesusastraan, dibutuhkan agar semua ini bukan hanya cita-cita dan retorika belaka. Kehadiran maecenas setidaknya dapat menghibur dahaga kita di tengah padang sabana yang luas ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.