Ketika sidang usai, Usman benar-benar mendekati Muchdi yang bersiap-siap meninggalkan ruangan sidang. Sebelum Muchdi benar-benar keluar dari ruangan, Usman berdiri di depan Muchdi sambil memajukan tangan kanan ke dada Muchdi. Dan terjadilah keributan kecil itu. “Dia tak mau menatap saya, tepatnya saya tidak tahu apakah dia menatap saya atau tidak. Karena dia tak melepaskan kaca mata hitamnya.”
“Umumnya para penulis mungkin jika dia ada di lapangan dia langsung menyebutkan bahwa Muchdi yang datang di persidang dengan kacamata hitam, tapi Rusdi tidak melakukan itu. Namun disimpan dan ditunda, lalu dia memakai quote Usman untuk menceritakan detail itu. Dan ini sesuai dengan angle yang dibuat, atau angle yang dipilih oleh Rusdi,” ujar Nezar.
Nezar mengakui, tidak banyak wartawan saat ini yang mempraktekkan teknik kepenulisan seperti sosok Rusdi Mathari. Media-media saat ini, kata Nezar, kadang-kadang dalam satu tulisan memiliki tiga angle bahkan berebutan ada di satu tulisan. Sehingga, tulisan tersebut tidak ada titik fokusnya.
Seharusnya, kata Nezar, tulisan yang baik adalah tetap dengan menggunakan satu angle, dan menggalinya dengan lebih detail.
“Kalau kita membaca buku sejarah hidup Fidel Castro, di situ Gabriel Garcia Marquez pernah menulis satu kesan dia tentang Fidel dengan angle mengapa Fidel kalau berpidato atau berbicara selalu panjang. Lalu dalam kesempatan lain, Gabriel juga selalu mendemontrasikan bagaimana cara Fidel berkomunikasikan dengan orang dan selalu panjang tapi tetap dalam satu angle. Meskipun begitu, Gabriel selalu berhasil menceritakan hal lain tentang sosok Fidel, misalnya pemberontakan yang dilakukan Fidel dan lain sebagainya,” kata Nezar.
Nezar menyakini, kesetiaan Gabriel dalam satu angle juga dapat ditemukan pada setiap tulisan Rusdi. Itu kemudian yang menjadi patokan seorang Rusdi menulis mampu menukis dengan asik dan mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai kalangan. Kesetiaan ini, patut pula menjadi sebuah pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sosok Rusdi Mathari.
Piawai Mendeskripsikan
Selain mengulik terkait angle, Rusdi juga salah satu wartawan yang piawai dalam mendeskripsikan satu tempat. Misalnya, bagaimana seorang Rusdi memiliki kejelian dan kematangan dalam mendemontrasikan sebuah pasar dengan sangat pionis bahkan audio visual sekali.
“Kita seperti masuk ke dalam pasar itu dan mengikuti Rusdi bertemu orang-orang yang belanja, tawar-menawar, deskripsi narasi yang dimainkan menurutku cukup bagus. Mungkin di sini tidak ada yang begitu penting dari sebuah pasar itu, kecuali bahwa kita disadarkan pada satu aktivitas yang sangat bisa jadi humanis, bisa jadi penuh kecurangan dan lain sebagainya di sebuah pasar,” kata Nezar, yang mengaku baru membaca buku itu.
Nezar yakin, buku-buku Rusdi menjadi buku penting bagi dunia jurnalistik. Sebab teknik deskripsi dan narasi dalam buku tersebut akan menjadi dokumen penting jika dibaca pada 15 atau 20 tahun kedepan dalam melihat perkembangan dan suasana Pasar Tradisional pada tahun 2014 di mana buku itu ditulis.
“Jadi, cukup menarik buku ini kedepannya,” ujar Nezar.
Selain itu, sosok Rusdi juga orang yang punya selera humor. Misalnya, dalam salah satu paragraf lainnya dalam tulisannya berjudul Pasar Tradisional sesekali dia menyelipkan anekdot, seperti dibawah ini:
Pria itu mengambil kantong plastik kecil yang sering digunakan untuk membungkus es lilin lalu mengisinya dengan bumbu-bumbu. Dia menyendok bumbu dari empat toples, saya hanya tahu yang berisi kunyit. “Bumbu ungkep kok banyak sekali mas,” tanya saya. “Biar rasanya enak, pak, kan aneka bumbu,” jawabnya.
Lagi-lagi dengan suara yang gemulai, dimirip-miripkan suara perempuan. Matanya mngerling, saya nyengir dan balas mengerling. Lalu saya melihat bumbu ungkep ayam yang dipesan istri ditambah satu sendok.
“Itu humor yang menurutku menarik dan membuat tulisan menjadi lebih enak dibaca. Jadi buku ini menurutku warisan Rusdi buat kawan-kawan untuk belajar menulis jurnalistik, saya kira ini warisan yang berharga,” kata Nezar.