Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayembara Puisi Pelajar Indonesia 2021 Digelar di Rusia

Kompas.com - 03/03/2021, 20:33 WIB
Irfan Maullana

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Puisi telah menjadi bahasa kalbu paling terdalam. Setiap orang bisa menulisnya, baik yang bertema kerinduan maupun kecintaan pada negeri Indonesia yang jauh.

Puisi terkadang menjelma sebagai untaian doa, bagi mereka yang percaya pada mantera kata-kata.

Begitu pula, puisi telah menjadi bidang kajian ilmiah yang dipelajari di perguruan tinggi secara serius. Pelbagai riset tentang puisi Indonesia telah dilakukan secara mendalam. Sangat menggiurkan bagi para orientalis di perguruan-perguruan tinggi ternama Rusia.

Untuk menghargai hakikat Bahasa Indonesia di tanah kelahiran A S Pushkin, maka sejumlah pelajar S3 Indonesia di Rusia menyelenggarakan sayembara penulisan puisi bertema "Doa Tanah Air: Suara Pelajar dari Negeri Pushkin".

Baca juga: Rima Puisi dan Irama

Ini adalah sayembara puisi pertama pelajar Indonesia setelah Uni Soviet runtuh pada 1991.

Gerakan menulis puisi tersebut mencoba untuk merangsang para pelajar yang sedang merantau untuk menuangkan ide-ide cemerlang.

Apalagi, para pelajar Indonesia telah bersentuhan langsung dengan karya puisi klasik Rusia. Wajib dipelajari di fakultas persiapan (podgotovitelni fakultet) selama setahun.

Pembuatan antologi puisi "Doa Tanah Air: Suara Pelajar dari Negeri Pushkin" mempunyai misi untuk memacu kreativitas pelajar Indonesia di Rusia guna menghargai Sastera Indonesia dari negeri rantau. Sedangkan visi, yaitu membumikan Puisi Indonesia di sarang elang berkepala dua, lambang negara Rusia.

“Kajian-kajian tentang puisi, dongeng, dan cerita rakyat Nusantara sudah banyak ditelaah secara ilmiah oleh orientalis di Rusia. Namun, antologi puisi kaum pelajar Indonesia menarik karena memang sangat jarang saya kira,” tutur Victor Pogadaev, sejarawan dan peneliti sastra Melayu dan Indonesia di Moskwa, Senin (1/3/2021).

Sebuah himpunan puisi berupa diktat, pernah dibuat oleh pelajar Indonesia pada tahun 1957 dalam rangka pagelaran Festival Pemuda dan Pelajar di Uni Soviet. Saat itu, penyair W S Rendra diundang untuk baca puisi.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Demo Pemberedelan 3 Media, WS Rendra Ditangkap

Rendra datang bersama sekelompok seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) atas undangan dari Institut Asia Afrika di Universitas Negeri Moskwa. Festival itu terjadi setelah kunjungan pertama Presiden Soekarno pada 1956.

Karya Rendra menjadi kajian menarik di Moskwa saat itu. Salah satu peneliti yang banyak menerjemahkan karya Rendra ke dalam bahasa Rusia adalah Prof Dr Vilen Sikorski, Presiden Persatuan Nusantara Moskwa.

Dalam kunjungannya itu, Rendra melahirkan puisi-puisi yang begitu kuat tentang tema kemanusiaan yang ditulis secara jenius. Sejumlah karyanya, antara lain "Sajak Sepatu Tua", "Sungai Moskwa", "Gereja Ostankino", "Sretenski Boulevard", dan "Sebuah Restoran Moskwa".

Sejak itu, festival sastra tidak lagi dihelat. Hanya berupa diskusi dan seminar yang digelar di perguruan tinggi. Pada 1995, ada acara deklamasi sajak Rendra bertalian dengan hari ulang tahunnya ke-60 di Universitas Negeri Moskwa.

"Betul, kami dulu menggelar acara baca puisi dan diskusi tentang karya Rendra secara ilmiah," jelas Pogadaev.

Membumikan puisi Indonesia

Di era Uni Soviet, sejumlah pesastra hebat Indonesia pernah eksis. Sekadar menyebut nama-nama besar seperti mendiang Prof Intoyo, sastrawan Utuy Tatang Sontani, dan penyair cum sineas Awal Uzhara. Mereka adalah tokoh-tokoh sastra yang pernah mengajar di Moskwa.

Prof Intoyo adalah penyair yang pada tahun 1930-an menulis sajak dalam bentuk soneta. Dia juga sempat bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka, sebelum ditugaskan ke Uni Soviet. Karya sajaknya pernah termaktub dalam sejumlah antologi dalam bahasa Prancis dan Rusia.

"Bapak saya resmi dikirim untuk mengajar di MGIMO (Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow) pada tahun 1956, tiga pekan setelah kunjungan resmi Presiden Sukarno pertama ke Uni Soviet," ungkap Ami Intoyo, anak pertama mendiang Prof Intoyo.

Baca juga: Penyair Iwan Jaconiah Raih Honor Award di Festival Sastra Dunia Chekhov 2019

Kedatangan Prof Intoyo untuk mengajar Bahasa Indonesia ditandatangani langsung oleh kedua pemimpin Indonesia-Soviet, saat itu. Yaitu, Presiden Soekarno dan Nikita Khrushchev. Hubungan itu kian menjadikan Bahasa Indonesia resmi sebagai mata kuliah wajib "melepas diri" dari Bahasa Melayu.

Sedangkan, Utuy bermigrasi dari Beijing ke Moskwa pada 1973. Dia menumpangi kereta Trans Siberia. Tujuan awal hendak berobat ke Belanda, namun dia memutuskan untuk turun di Moskwa.

Utuy banyak berkarya dan sempat menjadi pengajar pada Institut Asia Afrika di Universitas Negeri Moskwa Lomonosov. Dia tinggal hingga ajal menjemputnya.

Sontany dimakamkan di Mitinskoye Kladbishche, pekuburan Rusia di pinggiran Kota Moskwa. Kini, makam Utuy telah menjadi obyek wisata dan ziarah sastra bagi kaum peneliti.

"Nama tokoh-tokoh ini hampir tenggelam. Saya yakin, sedikit sekali pelajar yang mengetahui nama Intoyo dan Utuy. Padahal, mereka telah berjasa mengajar bahasa Indonesia di Rusia," jelas Iwan Jaconiah, kurator antologi puisi "Doa Tanah Air”.

Penyair yang baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi Hoi! (2020) itu menjelaskan bahwa pengerjaan buku antologi puisi tersebut menjadi tantangan. Terutama, untuk dapat merangsang daya analitik dan daya pikir kritis para pelajar yang sedang kuliah di Rusia.

"Sekarang sedang masa pandemi. Semua mahasiswa baru sedang belajar secara online di podgotovitelni fakultet. Puisi, sebenarnya tidak asing bagi mereka. Saya hanya dorong agar ada geliat menulis puisi sebagai upaya membumikan kembali puisi Indonesia di Rusia," jelas Iwan.

Masing-masing mahasiswa memiliki latar belakang jurusan dan disiplin ilmu berbeda-beda. Namun, puisi dapat menyatukan gelora nasionalisme. Di pundak pemuda, Sumpah Pemuda pernah diucapkan lewat puisi pada 1928. Jauh sebelum Indonesia diproklamasikan Bung Karno-Bung Hatta.

Lewat wadah puisi, para pelajar secara tak langsung telah ikut membangun peradaban bangsa. Sebagaimana Presiden Joko Widodo telah menancapkan "Kapsul Waktu" di Merauke, Papua, beberapa tahun lalu.

Kapsul itu berisi coretan sajak, doa, dan mimpi generasi muda Indonesia. Baru akan dibuka kelak pada 2085 mendatang.

Persyaratan sayembara

Peserta adalah mereka yang menyukai tulis-menulis. Komposisi penulis puisi terdiri dari 80 persen pelajar S1-S3 di Rusia, 10 persen alumni Rusia, dan 10 persen para peneliti/dosen/pelancong/wartawan yang pernah meneliti dan mengunjungi Rusia.

Persyaratan umum, yaitu setiap peserta mengirimkan sepuluh (10) karya puisi original, bukan saduran, plagiat, dan belum pernah dipublikasikan, baik di media cetak maupun media sosial apapun.

Sedangkan persyaratan khusus, yaitu puisi tidak mengandung unsur SARA yang dapat memecah persatuan dan kesatuan antarbangsa. Tidak mengandung unsur ujaran kebencian dan hujatan. Tidak memuat ideologi politik yang telah dilarang dalam undang-undang yang berlaku di republik.

Mengusung ide-ide inspiratif tentang hubungan Indonesia-Rusia pascareformasi. Tema bebas, namun mengacu pada judul "Doa Tanah Air: Suara Pelajar dari Negeri Pushkin".

Melampirkan foto diri, nara-data singkat penulis, tempat dan tanggal lahir, asal perguruan tinggi, dan seperlunya.

Karya puisi dikirim dalam bentuk word, 12 times new roman, 1 spasi. Tujukan ke email kurator iwanjaconiah@yandex.ru selambat-lambatnya pada Senin, 15 Maret 2021, pukul 20.00 WIB (waktu Moskwa 24.00).

Pengiriman karya tidak dipungut biaya apapun. Tidak ada proses surat-menyurat dengan tim ahli dan kurator demi menjaga independensi.

Berikut nama-nama tim antologi puisi "Doa Tanah Air: Suara Pelajar dari Negeri Pushkin".

Tim penasihat terdiri dari Prof Wahid Supriyadi (Dubes RI di Federasi Rusia dan Belarusia, 2016-2020, budayawan); Prof Dr Victor Pogadaev (sejarawan dari Persatuan Nusantara Moskwa); Dr (kandidat) Usman Kansong (Ketua Dewan Redaksi Media Group, Pemerhati Sastra); dan Remy Sylado (tokoh sastra).

Sedangkan tim ahli terdiri dari Acep Zamzam Noor (sastrawan); Dr Susi Machdalena Uzhara (dosen Sastra Rusia di Universitas Padjadjaran, Bandung); dan Dr Marina Frolova (dosen Sastra Indonesia di Universitas Negeri Moskwa, *dalam konfirmasi).

Kurator adalah Iwan Jaconiah, penyair cum mahasiswa S3 Kulturologi di Universitas Sosial Negeri Rusia. Tim editor terdiri dari David Kermite, Doktor (kandidat) di Universitas Persahabatan Rakyat Rusia; Irfan Maullana, wartawan dan penikmat puisi; serta Frans Ekodhanto Purba, penyair cum produser.

Buku ini bersifat independen dan swadaya. Tidak/belum mendapatkan sponsor, baik oleh lembaga nasional maupun lembaga asing. Jika ada, akan diumumkan kemudian hari dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com