Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Adi, Astrid, Namira dan Mereka yang Menemani Anak-anak Indonesia

Kompas.com - 15/09/2021, 10:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANDUNG, 1968 di sebuah pagi yang berkabut. "Saat itu mahasiswa sedang mogok, jadi tidak ada kuliah," kata penulis Djoko Lelono (77 tahun) mengenang masa mudanya ketika masih menjadi mahasiswa jurusan Astronomi ITB. Menurutnya, kabut begitu tebal menutupi Bandung hingga imajinasinya mulai ke mana-mana.

"Semua selalu dimulai dengan what if...," demikian kata Djoko Lelono menceritakan bagaimana kabut itu memengaruhi asal mula dia menulis novel anak-anak "Genderang Perang dari Wamena" yang fenomenal itu. Maka yang dibayangkan, apa yang akan terjadi jika di balik kabut yang tebal itu ada seseorang, seperti adegan sebuah film?

Itulah awal dari dimulainya novel "Genderang Perang dari Wamena", sebuah novel untuk anak-anak yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya 1970 dan kemudian menjadi pegangan banyak anak SD dan SMA di masa itu, tentu saja selain komik wayang Mahabharata dan Ramayana versi RA Kosasih dan serial Lima Sekawan karya Enid Blyton.

"Genderang Perang dari Wamena" berkisah tentang dua anak lelaki bernama Yunanto dan Adi yang bersahabat dan pada saat pulang sekolah yang seharusnya mereka isi dengan mengerjakan pekerjaan rumah malah secara tak sengaja diisi dengan sebuah kegiatan yang mengejutkan.

Mereka menemukan genderang dan beberapa harta tua di gudang; dan ketika genderang itu dipukul, maka timbul kabut dan kedua anak itu seolah menyaksikan cuplikan adegan asal muasal genderang tersebut.

Selebihnya adalah sejarah yang bergulir, karena nama Djoko Lelono kemudian akrab dengan kisah-kisah fantasi, seperti "Terlontar ke Masa Silam" (1971), "Rahasia di Balik Lukisan", dan juga beberapa fiksi-ilmiah dan serial yang menampilkan tokoh anak-anak seperti serial Astrid.

Kini novel "Genderang Perang dari Wamena" sudah diterbitkan kembali dengan judul "Tifa Tua" dengan beberapa adaptasi nama tokoh.

Ini salah satu tantangan menerbitkan (kembali) buku anak-anak yang sudah berusia puluhan tahun; selain dianggap harus "beradaptasi" dengan nama masa kini, Djoko Lelono juga merasa batasan-batasan di abad ke-21 ini semakin banyak dan besar.

Inilah salah satu pembahasan dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang mengundang Djoko Lelono yang mewakili penulis buku kanak-kanak sejak tahun 1970-an dan Rizal Iwan, generasi baru penulis buku anak-anak serial "Creepy Case Club".

Jika Djoko Lelono memulai karya-karya dengan pertanyaan "what if", ternyata Rizal Iwanpun asal mulanya menciptakan tokoh Namira dan dunianya adalah karena keinginan tahu "what if...", bagaimana jika dia bisa melihat arwah atau makhluk halus.

Menulis cerita anak-anak yang memasukkan elemen supranatural tentu banyak rambu. "Saat saya menulis ini, banyak sekali yang saya cek, bahas dan dipertimbangkan bersama redaksi, bukan hanya soal plot tapi bahkan penggunaan diksi tertentu," kata Rizal.

Djoko Lelono juga mengakui selama puluhan tahun menulis buku anak-anak yang biasanya dia lakukan dengan santai dan mengikuti imajinasinya, pernah terkejut ketika diundang tim ACI (Aku Cinta Indonesia) di mana beberapa penulis anak--termasuk Arswendo Atmowiloto--yang diminta menulis untuk drama anak TVRI.

"Bukan hanya ada pagar biasa, bahkan ada beberapa ahli jiwa yang memberi begitu banyak rambu dalam penulisan cerita TV," kata Djoko Lelono.

Tantangan menulis buku anak-anak tentu saja bukan persoalan bahwa penulis harus mengingat pagar-pagar tertentu (bahasa, moral, jahat lawan baik dan seterusnya), tetapi lebih lagi konsumen--yaitu anak-anak--harus diberi kegairahan membaca dengan jagat yang diciptakan penulis.

Tak semua penulis mampu mengirim rasa petualangan, kegairahan, keunikan tanpa menggurui dan khotbah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com