Pengaruh teater atau akting dari sang ibu terbukti mengalir deras di nadi Atiqah Hasiholan. Walaupun pada awalnya dia mengaku dipaksa belajar teater oleh sang ibu di saat remaja, si cantik itu tidak lantas menguntit sang ibu, Ratna Sarumpaet. Dia menapaki jalannya sendiri.
Atiqah kemudian tidak melulu berlakon di panggung teater, namanya semakin penting di dunia peran layar perak maupun film televisi (FTV). Sejumlah penghargaan dalam dunia peran diraih sarjana Media dan Psikologi dari Monash University, Australia, itu. Cericitnya bisa dilihat @atiqahhasiholan. Soal bagaimana Atiqah menjalani hidupnya, dia menjawab, ”Memaksimalkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk mencapai apa yang kita mau.”
Horas Ito Hasiholan. Saya sangat mengagumi peran Ito ketika melakonkan sosok Jamila di film Jamila dan Sang Presiden (JDSP). Apakah sekarang Ito masih peduli terhadap nasib anak- anak yang ditelantarkan orangtuanya?(Rinto Tampubolon, Medan)
Mempelajari kehidupan Jamila pada pentas teater/film JDSP, saya semakin sadar betapa buruknya dampak dari tingginya kemiskinan dan rendahnya pendidikan. Indonesia salah satu negara dengan angka tertinggi untuk child trafficking, perdagangan seks.
Kesadaran tersebut secara tidak langsung memengaruhi saya dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidup saya, pribadi, dan pekerjaan. Sebisa mungkin saya bisa terlibat dalam proyek-proyek pekerjaan yang membicarakan masalah sosial di negara ini, dan mendukung beberapa gerakan sosial, seperti menyosialisasikan pentingnya air bersih bersama Kruha, dan Gerakan Sejuta Buku untuk Petani.
Mbak, saya seorang kakek yang mempunyai cucu 4 orang senang menyaksikan penampilan Mbak Atiqah. Kenapa belakangan ini tidak pernah muncul? (Kristiono Moedjihardjo, Jakarta)
Salam kenal kepada Bapak dan cucu-cucunya. Masih muncul kok Pak. Tapi saya kan tidak hanya akting untuk FTV, tapi juga film dan teater. Saya harus bisa membagi waktu. Contoh, ketika saya sedang shooting film di Wakatobi selama hampir dua bulan, tidak mungkin saya bisa shooting untuk FTV di Jogja dan Bali, begitu juga sebaliknya.
Yang pertama saya lakukan adalah mencoba mengingatkan diri saya bahwa saya tidak sendiri. Pada detik ini ada jutaan orang selain diri saya sedang merasakan hal yang sama, yaitu tekanan. Ini menahan diri saya untuk tidak mendramatisir keadaan saya.
Saya juga bebas memilih, mau menghadapi masalah dengan tersenyum atau dengan cemberut. Pengalaman saya, menyelesaikan masalah dengan tersenyum jauh lebih efektif, terasa damai, dan energi yang terkuras lebih sedikit.
Ibu saya tentunya, Ratna Sarumpaet. Saya kagum sama energi yang dia miliki, jauh lebih banyak dari saya dan kebanyakan orang-orang lain yang saya kenal yang umurnya jauh lebih muda dari beliau. Itu jadi membuat saya malu sendiri ketika saya tidak memberi lebih untuk karier saya dari apa yang saya bisa lakukan.