Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merayakan Hidup Berdetak

Kompas.com - 15/03/2015, 17:23 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Di antara puluhan penampil di Java Jazz 2015, ada dua sosok menarik, yaitu Chris Botti dan Brad Mehldau. Masing-masing menawarkan pilihan penikmatan yang berbeda. Namun, benang merahnya sama: merayakan kehidupan dengan musik.

Nonton Chris Botti di Java Jazz adalah menikmati pertunjukan musik. Trumpetis itu menyodorkan pertunjukan dengan paket lengkap, menghibur. Setidaknya itu terdengar dari repertoir yang terasa seperti nasi rames, penuh rasa. Jazz, rock, dan pop-opera, segala ada. Trumpetnya bisa dengan sangat lembut, liris, membuai telinga lewat balada seperti "My Funny Valentine", "The Very Thought of You", atau "When I Fall in Love". Orang dibuat klepek-klepek, terpesona, menikmati balada romantis, alon-alon. Nyatanya, penonton yang datang berpasangan saling berangkulan.

Tiupan teduh seperti itulah yang mengantarkan Botti menerima penghargaan Grammy 2013 untuk kategori Best Pop Instrumental Album. Trumpet romantis memang nyaris menjadi "brand" seorang Chris Botti (52). Namun, di Java Jazz balada lembut itu hanya menjadi bagian dari paket pertunjukan Botti. Botti dan kawan-kawan juga menyuguhkan lagu pop opera macam "Con Te Partiro". Lagu yang dipopulerkan Andrea Bocelli malam itu dibawakan pianis Taylor Eigsti. Dan tiba-tiba muncul pula potongan lagu rock "Iron Man" milik Black Sabbath dengan rasa rock yang keras-keras galak.

Chris Botti membawa pendukung yang masing-masing punya daya hibur. Antara lain penyanyi Sy Smith, violis Caroline Campbell, dan drummer Lee Pearson. Sang drummer bermain dengan atraktif, akrobatik, dan komedik. Ia tampil dalam permainan drum tunggal selama sekitar 7 menit. Aksinya mengundang tawa. Lihat saja, sambil tangannya aktif menabuh, ia melepas jas. Aksi lain, ia melingkarkan tangan kanan ke punggung bagian bawah, hingga posisi genggaman tangan berada di samping pinggang kiri. Begitu pula, ia melingkarkan tangan kiri hingga posisinya berada di pinggang kanan. Dalam posisi seperti itu, kedua tangan itu masih terampil memukul drum. Ia juga meletakkan stik drum di atas kepalanya yang plontos yang membuat penonton tergelak-gelak.

Sementara sang vokalis, Sy Smith, mempertunjukkan kemampuan vokal yang menyamai lengkingan tinggi trumpet Botti. Unsur-unsur yang menghibur dan berbau sensasional itu memang kadang diperlukan dalam sebuah pertunjukan dengan penonton heterogen seperti di Java Jazz. Dan nyatanya arena pergelaran Chris Botti penuh dalam dua kali penampilan pada hari kedua dan ketiga, 7 dan 8 Maret. Namun, di atas semua itu, "roh" sebagai musisi jazz tetap terasa dalam tiupan trumpet Botti.

"Musical happening"

Lain lagi dengan pianis Brad Mehldau (45) yang tampil duo dengan Mark Guiliana, disebut Mehliana. Mungkin penampilan mereka tidak dapat "dinikmati" dengan ukuran daya hibur seperti gaya Chris Botti. Tidak ada aksi visual atau sensasi dengaran ala panggung pertunjukan Botti. Brad memainkan piano akustik, piano elektrik Fender Rhodes, dan synthesizer, termasuk Mini Moog. Adapun Mark memainkan drum dan efek suara.

Mehldau dan Guiliana menawarkan pesona lain, yaitu mengajak bertualang ke alam ketakterdugaan. Mereka seperti mengajak penonton berjalan-jalan masuk ke rimba nada. Menyibak lapis demi lapis lebatnya semak belukar dan menikmati pemandangan yang belum terlihat sebelumnya. Musisi jazz Idang Rasjidi menyebut petualangan musik mereka sebagai musical happening. Penikmat hanya perlu bekal harapan: apa yang terjadi terjadilah.

Misalnya, mereka memainkan komposisi kondang seperti "Young at Heart" atau juga "My Favorite Things", lagu dalam film The Sound of Music. Sepotong baris-baris melodi lagu tersebut muncul sepintas, selebihnya adalah petualangan ke alam bunyi yang berbasis pada komposisi dasar. "Dia hanya punya batang lagu, selebihnya adalah musical happening," kata Idang Rasjidi.

Pada "My Favourite Things", misalnya, Brad menyentuh Mini Moog yang mengeluarkan suara dengan wilayah nada sangat rendah. Bunyi itu terdengar berat, datar, mengeng, atau bunyi seperti dengung. Suara yang imajinatif itu seperti memberikan rangsang kreatif kepada Brad dan drummer. Bunyi yang ia ciptakan itu menstimulasi Brad untuk merespons. Telinga hadirin pun juga bisa tergoda untuk ikut masuk mengembara ke alam suara tersebut. Ketika Brad kemudian mengeksekusi rangsang bunyi tadi dengan grand piano akustiknya, saat itulah lapis demi lapis pengembaraan disibak.

Keputusan untuk meracik musik itu, menurut Idang, lahir dari pengalaman dan pencarian yang cukup panjang. Brad, pada awal 1990-an, bermain dengan singa-singa jazz muda saat itu. Seperti dalam Joshua Redman Quartet bersama Christian McBride pada bas dan Brian Blade. Setelah membentuk trio, ia mencoba tampil dengan format duo dalam Mehliana bersama drummer Mark Guiliana yang menghasilkan album Taming the Dragon (2014).

Mereka yang pernah menikmati album Taming the Dragon mungkin punya sedikit bekal untuk bertualang. Di Java Jazz, Brad antara lain menyuguhkan "Hungry Ghost" yang dimuat di album tersebut. Tetapi, toh, di pentas, hantu itu sudah berubah wujud: lebih liar, lebih lapar.

Hadirin diajak merayakan apa yang terjadi pada saat itu. Bukan musik hafalan, seperti makanan basi yang dihangatkan. Jazz itu merayakan spirit of the moment, kata saksofonis Joshua Redman. Jazz merayakan detak kehidupan yang tengah berbunyi, terdengar, dihadirkan, dan dinikmati bersama-sama. (DOE/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com