PARA pencerita di era modern, seperti sutradara film berusia tiga puluh dua tahun Angga Dwimas Sasongko, tak lagi terikat hanya oleh satu format media.
Mereka telah menjangkau berbagai platform mulai film, televisi, periklanan, video hingga game online, untuk memproduksi dan mereproduksi cerita mereka.
Saat ini, lebih dari 55 persen penduduk Indonesia menghabiskan waktunya lebih dari enam jam per hari untuk berselancar di internet, terutama melalui smartphone.
Maka tak heran, perjuangan untuk sekadar menangkap “bola mata” seseorang menjadi sebuah usaha yang epik dan tak ada akhirnya.
Seperti yang Angga katakan, “Sekarang ini, hanya soal bagaimana mendekatkan diri dengan penonton. Bagaimana cara masuk ke smartphone setiap orang? Membuat konten lalu menembuskannya ke dalam smartphone.”
Melalui dua film Filosofi Kopi-nya, Angga telah membuktikan dirinya sebagai frontrunner dalam area multidimensi ini, ketika sebuah film tak lagi sekadar film biasa dan ditayangkan di bioskop, tetapi lebih luas lagi.
Boleh dibilang, Angga seperti ingin menciptakan semesta (universe) dengan mengajak kaum muda milenial Jakarta menyeruput espresso di kafe-kafe modern bernuansa kayu sekaligus komunitas-komunitas petani di Lampung, Toraja, dan Jawa Timur.
Seri Filosofi Kopi menceritakan sebuah persahabatan dua lelaki sedari kecil yang luar biasa. Sebuah bromance antara seorang Indonesia keturunan Tionghoa dan pribumi, suatu hal yang muskil terjadi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini.
Mereka adalah duo yang unik, Jody (diperankan oleh Rio Dewanto) adalah keturunan Tionghoa dengan karakter kaku, keras, dan tukang pikir. Sebaliknya, Ben (Chicco Jerikho) adalah barista yang temperamen dan bersemangat, tapi memiliki filosofi dalam setiap cangkir kopi yang diramunya.
Tak terelakkan, hubungan mereka mulai terganggu hingga mengusik bisnis bersama ketika muncul sosok-sosok perempuan yang memperumit hidup mereka.
Dalam film pertama, ada El (Julie Estelle), penulis kopi yang angkuh yang menggiring cerita. Di film kedua muncul pengusaha cantik bernama Tarra (Luna Maya), dan seorang barista eksentrik berdedikasi bernama Brie (Nadine Alexandra). Mereka menguji para pria ini.
Khususnya Ben yang dipaksa menerima tragedi keluarga yang telah membentuk hidupnya. Namun di satu titik, dia akhirnya menemukan kedamaian ketika memutuskan untuk meneruskan pembibitan kopi yang dirintis mendiang ayahnya di Lampung.
Meskipun tak satu pun dari kedua film ini mencapai box office, mungkin karena latar ceritanya yang terlalu urban, namun Angga meyakinkan saya bahwa kedua filmnya itu menguntungkan.
Dan karena kegigihannya menggunakan berbagai platform, seri Filosofi Kopi berdampak luar biasa terhadap budaya pop Indonesia.