Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Menafsir Fiksi, Menakar Spiritualisme

Kompas.com - 23/05/2018, 08:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENI bukan pernyataan final manusia. Ia tak berhenti di sebuah pintu tertutup. Demikian pula ilmu pengetahuan, ia menantang nalar sampai batas-batas terjauhnya, yang kemudian menyongsong kritik dan menerima revisi.

Maka itu, dari keduanya kita mengenal imajinasi berperan. Yang sebagian ahli setuju bahwa menafsirkan tentang keberadaan religi, membutuhkan nalar, hati (iman) dan imajinasi sekaligus.

Kemudian, di manakah narasi tentang fiksi? Ia bisa jadi berjalan mondar-mandir di antara yang imajiner dan yang bernalar. Adapun spiritualisme menubuh dalam nadi kalbu.

Ada dua karya perupa yang cukup menarik dan mungkin perlu ditinjau ulang, dituliskan, dan layak dibincangkan di sebuah pameran berskala akbar beberapa saat lalu. Keduanya terkait dengan konsep fiksi dan spiritualisme.

Pameran raksasa itu digelar pada awal Mei 2018 sampai ditutup pada pertengahan bulan yang sama di Galeri Nasional Indonesia.

Puluhan suguhan menakjubkan dari karya seniman-seniman dengan medium lukisan, video art, instalasi interaktif, dokumentasi aktivisme, sampai yang tak berjarak mendapatkan respons langsung pengunjung di lokasi pameran. Ada karya-karya kinetik yang membutuhkan sentuhan atau usapan-usapan tangan pengunjung.

Kesemuanya ini disusun dan ditata di ruang pameran oleh empat kurator, yang telah memberi tafsiran karya-karya seniman via ekspresi seninya soal identitas, budaya pop, spiritualisme, dunia virtual dan teknologi-informasi, serta kondisi politik di dalam negeri.

Dengan membingkainya menjadi satu rangkaian utuh dari berbagai konsep, pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik yang multipolar (beragam arah) sejak reformasi 20 tahun lalu.

Peristiwa seni yang akrab disebut manifesto ini adalah sebuah tradisi pernyataan bersama seniman-seniman dengan karya-karyanya, yang dihelat sejak 2008 dengan event dua tahunan (bienalle).

Fiksi mengandung kebenaran?

Kembali pada dua karya yang cukup menggelitik, yang pertama adalah kolaborasi seniman muda dari Bandung, Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono.

Penulis memilih mengulasnya bukan karena medium yang dianggap konvensional, yakni lukisan.

Karya Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono berjudul Piagam tentang Fiksi dipamerkan dalam pameran seni di Galeri Nasional Indonesia, awal hingga pertengahan Maret 2018.BAMBANG ASRINI W Karya Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono berjudul Piagam tentang Fiksi dipamerkan dalam pameran seni di Galeri Nasional Indonesia, awal hingga pertengahan Maret 2018.
Akan tetapi, karya mereka secara langsung berkonsep menyentil peristiwa yang belum lama terjadi, yang sempat membuat heboh warga netizen terkait ucapan seorang tokoh intelektual di televisi yang menjadi viral. Ia cukup dikenal lekat hubungannya dalam faksi-faksi politik yang berkontestasi pada Pemilu 2019 kelak.

Menurut Zico dan Ahmad, seperti dalam surel yang dikirimkan ke penulis, bagaimana mungkin fiksi bisa mengandung kebenaran dan akhirnya menyulut polemik?

Ada dua aspek yang memungkinkan hal itu terjadi: aspek kognitif dan aspek emosional.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau