Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Menafsir Fiksi, Menakar Spiritualisme

Kompas.com - 23/05/2018, 08:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Karya terakhir adalah lukisan berupa teks. Semacam manifesto "Piagam tentang Fiksi" yang merenungkan ulang bahwa idealisasi atau utopia sebenarnya adalah khayalan-khayalan belaka.

Bisa jadi itu semua akan menjadi kenyataan kelak. Namun, kita layak mawas diri. Peran kerja nalar yang kritis sebagai tonggak dasar ilmu pengetahuan tetap diperlukan.

Meskipun imajinasi mengakselarasi fiksi, hal itu untuk menjaga pemahaman tentangnya agar tak tergelincir sarat emosi dan fanatisme belaka.

Spiritualisme dan tarian sufi

Sementara itu, ruangan khusus di samping kanan di dalam Hall A Galeri Nasional Indonesia oleh perupa Rudi Atjeh sengaja digelapkan. Hanya beberapa sorot lampu menerpa sosok-sosok berjubah putih tanpa kepala dan kaki berayun-ayun.

Di sekelilingnya, beberapa rebana berdiri mengambang diam. Di depannya, replika kayu senjata mesin otomatis M-16 tergantung sedemikian rupa digubah menjadi gitar listrik, lengkap dengan sound system-nya.

Aura ruangan menyemburkan rasa mistis. Sampai satu saat pengunjung menggerakkan senar-senar di tubuh senjata itu, dan pengunjung lainnya mengentakkan tangannya memukul rebana. Ruang senyap menjadi berderak berisik.

Atau sebaliknya, terdengar irama dengan ritme harmonis. Rupanya sensor suaralah yang mengubah ruang bisa menjadi lantunan musik yang enak didengar, menggugah rasa terdalam kalbu atau sekadar ingar-bingar menusuk telinga.

Sementara tubuh-tubuh putih secara otomatis bergerak, berayun dengan seksama dalam putaran-putaran tertentu bagai tarian sufi, prosesi whirling dance yang khusuk itu. 

Tatkala kekerasan di luar sana bertakhta, tangan-tangan yang mengalunkan musik indah berhenti. Mereka tak paham memetik komposisi yang mengeluarkan alunan merdu. Senjata itu lurus ke tubuh-tubuh.

Ajakan cinta, empati, dan kelembutan sengaja oleh Rudi Atjeh disuguhkan secara kontradiktif di karyanya ini.

Kali ini perupa Aceh yang lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menyukai musik, dan memiliki masa lalu yang dihabiskannya dengan mengekplorasi imaji tentang bayang-bayang dan irisan-irisan kertas tentang kondisi negeri, itu menampilkan instalasi memukau.

Karya yang dibuat tahun lampau dan sempat dipamerkan selain di Galeri Nasional itu berjudul "Jauh di Hati, Dekat di Mata", sepertinya hendak mengolok-olok, mengembalikan segalanya pada diri.

Kita berkomitmen di hadapan segala yang menampak, yang terukur pun bersolek karenanya.

Spirituliasme, mungkin bagi Rudi Atjeh, adalah pergolakan tak berkesudahan tentang upaya manusia, seumur hidupnya mengontrol tangan-tangan itu. Menyentuh dawai demi dawai "gitar cum senapan" dengan cinta yang tertambat di hati.

Tepukan-tepukan lembut berirama di rebana-rebana, menggerakkan hati kita, luruh seutuhnya. Bersujud dan bersimpuh di semesta milik-Nya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com