Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Menafsir Fiksi, Menakar Spiritualisme

Kompas.com - 23/05/2018, 08:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kesulitan membedakan antara fiksi dan kenyataan tak lepas dari dua aspek kebenaran yang ada dalam fiksi tersebut. Fiksi mengandung hipotesis berdasarkan kenyataan, yang memicu emosi yang benar-benar dirasakan oleh apresiatornya.

Tanpa verifikasi terhadap hipotesis yang diajukan, aspek emosi mendominasi kognisi bisa jadi berakibat idealisasi berlebihan, bahkan tergelincir pada fanatisme, hingga seseorang memperlakukan fiksi seolah-olah kenyataan.

Apalagi jika hal itu ditarik dalam konteks kondisi psikologi komunal yang terpolarisasi seperti saat ini di masyarakat.

Karya kolaboratif mereka, yang berjuluk "Fiksi", memang merespons masyarakat Indonesia yang tengah kembali mencari-cari sandaran identitas religi-politisnya.

Fenomena tersebut dengan elok disampaikan melalui apa yang disebut oleh Zico dan Ahmad sebagai perwujudan representasi kelompok-kelompok politik yang berkontestasi.

Karya mereka terdiri dari lima lukisan, yang katanya adalah mengungkap beban pikiran-pikiran komunal atas nostalgia sebagai sesuatu yang ideal. Kondisi imajinatif tanpa cela.

Sebuah impian yang dianggap "kebenaran yang seragam". Seperti disandingkannya lukisan potret mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, dan Presiden kedua RI Soeharto, yang tiba-tiba menggunakan atribut-atribut bernuansa kultur Arab.

Menurut perupa-perupa ini, representasi nostalgik kedua figur tersebut digambarkan tidak sesuai dengan kenyataan dan diberi atribut keislaman yang berlebihan.

Lukisan sejenis, dalam pose dan gesturnya, banyak dijumpai pada budaya Islam Indonesia, yang umumnya mempresentasikan potret atau lukisan tokoh pemuka agama Islam yang dihormati (ulama, pendiri pondok pesantren, seperti aulia atau ajengan).

Gambar-gambar tersebut seolah-olah refleksi pemimpin yang paling ideal bagi masyarakat Muslim. Meskipun semua orang tahu, baik Ali Sadikin maupun Soeharto adalah pemimpin yang tak sempurna.

Mereka tak terhindarkan dari kebijakan-kebijakan yang kurang tepat di wilayah publik di masa lalu. Jauh sekali dan berbeda peran dibanding dengan sosok para aulia.

Mereka berdua, seniman-seniman itu, Zico dan Ahmad dengan karya-karyanya, sedang membuat narasi fiksi.

Lukisan lain, "Peta Jayakarta 1527 H (Hijriah)" adalah sebuah jukstaposisi pengandaian Jakarta di masa depan atau 88 tahun ke depan bila dihitung sejak 1439 H tahun ini.

Peta merepresentasikan idealisasi sudut pandang tertentu, misalnya Monumen Nasional (Monas) mengalami perubahan drastis. Ini ditandai dengan nama-nama bangunan dan landmark seolah kota lama Jayakarta kembali muncul, dengan asal-muasal atribut pemimpinnya dulu, Fatahillah dengan wilayah Sunda Kelapa, dan lain-lain.

Peta Jayakarta 1527 H karya Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada Mei 2018.BAMBANG ASRINI W Peta Jayakarta 1527 H karya Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada Mei 2018.
Semua itu difiksikan seolah lahir di masa depan dan bernuansa sangat pekat secara Islami.  Peta juga menunjukkan perubahan garis pantai akibat abrasi, sebagai perubahan geografis yang berlangsung selama 88 tahun tersebut.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau