Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesian Mini Film Festival 2014: Berbagi Indonesia di Amerika

Kompas.com - 11/05/2014, 16:59 WIB
WASHINGTON DC, KOMPAS.com -- Seperti apa orang di Amerika Serikat—negara dengan Hollywood sebagai mesin industri film terbesar di dunia—menonton film Indonesia? Ada yang terkejut dan terpesona, ada pula yang rindu kampung halaman. Maklum saja, sebagian besar penonton Indonesian Mini Film Festival 2014 di Washington DC justru para perantau asal Indonesia.

Soal film laga, film produksi Hollywood boleh disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Toh begitu, Veskananda Naratama (15), yang menonton film laga Merantau, terkagum-kagum dengan aksi jawara silat Yuda (Iko Uwais) mengobrak-abrik markas sindikat perdagangan manusia di Jakarta.

Berbeda dengan film produksi Hollywood yang kerap dipermak kecanggihan teknologi, film besutan sutradara Gareth Evans itu menumpukan kekuatan adegan kepada aksi tarung yang mendekati realistis. Penonton selain Veskananda pun terus berdecak kagum, menjerit takut, juga terpekik kaget melihat duel Yuda yang digarap dengan rinci. Tiap adegan menonjolkan pernik-pernik rahasia bertarung silek harimau Minangkabau, hingga pada gerakan yang paling tak terduga, tak jarang sadis.

"Buat saya yang sedang belajar silat, sangat puas menonton Merantau. Sejak umur 6 tahun saya ikut orangtua tinggal di Amerika Serikat, sangat jarang menonton film Indonesia. Saya menikmati festival film ini," kata Veskananda.

Sayang, film peraih penghargaan film terbaik ActionFest 2010 itu hanya ditonton sekitar 20 penonton. Sementara pemutaran film Sang Kiai (28 April 2014), 99 Cahaya di Langit Eropa (bagian pertama, (29 April 2014), dan 9 Summers 10 Autumns (1 Mei 2014) disesaki penonton—Merantau justru sepi penonton. Hujan badai yang melanda Washinton DC, Maryland, dan Virginia, sepanjang 30 April lalu, juga membuat beberapa film lain yang juga diputar di Bethesda Row Cinema sepi penonton.

Sayang juga, empat hari Indonesian Mini Film Festival 2014 lebih banyak ditonton orang Indonesia seperti Veskananda ketimbang orang Amerika Serikat yang ada di Washington DC, dan sekitarnya. Begitu pula suasana diskusi film di Indonesian Corner, American University, yang dihelat 27 April lalu.

Indonesian Mini Film Festival 2014, yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia Washington DC dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu memang seperti penawar rindu bagi para perantau asal Indonesia. Entah itu para diplomat dan para kerabat, atau orang Indonesia yang bekerja di Amerika Serikat seperti orangtua Veskananda.

Tanggung
"Festival ini cukup lengkap. Ada film berlatar sejarah, ada film laga. Ada juga film berlatar kisah para perantau Indonesia di Eropa, juga film biografis. Buat saya yang tinggal di Amerika Serikat, saya tidak tahu sejarah KH Hasyim Asyari, sampai saat saya menonton festival ini. Saya tidak selalu ingat siapa saja yang pernah menjajah Indonesia," kata Veskananda.

Apa yang diutarakan Veskananda memang menunjukkan betapa strategisnya berbagi Indonesia lewat film. Jika para perantau Indonesia lebih banyak menonton festival film itu, yang mereka dapatkan pun lebih daripada sekadar obat rindu.

Sejumlah orang Amerika Serikat ada yang beberapa kali menonton festival itu, seperti Brian Kraft yang peneliti Indonesia dari Center for Strategic and International Studies Washington DC.

"Film-film yang diputar melampaui bayangan saya tentang film Indonesia. Kisah-kisahnya inspiratif, dan itu melatih kemampuan saya berbahasa Indonesia," kata Kraft yang pernah menjadi guru di Indonesia itu.

Beragam apresiasi dan pujian jelas menunjukkan tidak ada yang salah dalam festival itu, kecuali dalam skala penyelenggaraan yang serba tanggung dan kelompok sasaran penonton. Untuk festival itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendatangkan dua pelakon film muda, Adipati Dolken dan Acha Septriasa, dan keduanya aktif berdiskusi dengan para penonton film mereka.

Iwan Setyawan, penulis novel dan naskah 9 Summers 10 Autumns, juga Rully Sofyan dari Badan Perfilman Indonesia juga hadir menyapa para penonton festival.

Dengan upaya yang sedemikian besar dan memakan biaya, besaran peristiwa Indonesian Mini Film Festival 2014 festival itu berhasil meraih apresiasi dan pujian dari para penonton. Sayang penontonnya bukan para pelaku industri film Amerika Serikat yang digdaya itu. Maka upaya besar itu tidak menjadi ajang pertukaran pengalaman di antara para pelaku industri film Indonesia dan kampiumnya di AS.

Pendekatan berbeda dipakai sejumlah negara sahabat yang secara reguler membuat pemutaran film negaranya di Indonesia. Institut Français d’Indonésie yang ada di sejumlah kota di Indonesia misalnya, tiap pekan memutar film Perancis. Mereka melakukannya berpuluh tahun, tanpa seremoni, menghadirkan lebih banyak film. Tanpa banyak delegasi dan seremoni, mereka meraih apresiasi dan pujian dari para penonton Indonesia.

Menggarap Hollywood
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, menyebut pihaknya sudah memikirkan jalan untuk membuat pemutaran film Indonesia di luar negeri secara reguler. Selain itu, festival film Indonesia di luar negeri tetap digelar untuk meraih kerja sama di antara para pelaku industri film Indonesia dan dunia.

"Untuk membangun program pemutaran film reguler, harus ada kurasi atas film-film Indonesia. Itu penting untuk memutuskan film-film apa yang diputar secara reguler, dan kami berharap Badan Perfilman Indonesia mengambil peran kurasi film itu. Kementerian tetap akan menggelar festival film dengan para pelaku industri film internasional sebagai kelompok sasarannya," kata Mari.

Mari mencontohkan, pada September 2014 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan mendukung penyelenggaraan festival film Indonesia di Los Angeles. ”Tentu saja, dalam festival pada September itu kami tidak hanya mencari apresiasi. Kami berupaya memfasilitasi kerja sama produksi film Hollywood yang melibatkan pelaku industri film Indonesia. Kami juga menargetkan kerja sama produksi film di Indonesia, sebagaimana produksi film Eat, Pray, and Love di Bali,” kata Mari.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga berencana menghadirkan para pelaku industri film Indonesia dalam sejumlah festival film bergengsi dunia, seperti Cannes di Perancis (Mei), Berlin International Film Festival di Jerman (Februari 2015), dan Hongkong International Film Festival (Maret 2015). Gagasan yang baik itu tentu harus digarap dengan perencanaan jitu, agar tak pulang sekadar membawa cerita tentang pujian dan apresiasi semata. (Aryo Wisanggeni)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com