Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"SUCI 4": Mari Menertawakan Indonesia

Kompas.com - 30/06/2014, 13:06 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- "Kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Dia deklarasi di rumah Si Pitung. Pak, Pitung mah kagak pernah punya rumah. Seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah?"

Meledaklah tawa orang mendengar David Nurbianto mengolok-olok kekonyolan elite politik kita bermain simbol. David si anak Betawi menyentil ganjilnya "pembajakan" simbol Betawi di pentas politik.

Ini panggung Grand Final dari Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) musim 4 tayangan KompasTV. Inilah ajang tempat orang belajar menertawakan segala hal tentang Indonesia dan belajar menertawakan diri sendiri. Dengan gaya Betawi, David memarodikan apa pun, termasuk tema politik yang disodorkan tim juri. Simaklah celoteh politiknya yang sekaligus menjadi otokritik bagi orang Betawi.

"Setiap pemilu orang Betawi pasti diremehin. Katenye, Betawi mah kagak ada sekian persennya, pasti kalah. Iye sih, suara kita-kita di pemilihan memang kagak gedhe, tapi keenceeeng. Yang ngomong satu, yang denger sekampung!"

Ketika penonton terlambungkan hawa tawa, David menyeret mereka ke kenyataan.

"Tapi, tetep aje kalah, yang diitung suaranya, bukan kencengnya!" maki David dalam logat Betawi khas, sewot tapi lucu.

Tak sekadar lucu
Dari hal remeh-temeh, David yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek membuatkan kita cermin untuk menonton sendiri seberapa dewasa kita berpolitik. Kebetawian dijadikan David sebagai pintu masuk memandang persoalan apa pun secara jenaka. Lewat tetek bengek Betawi, David beradu lucu dengan Abdurrahim Arsyad alias Abdur, finalis SUCI 4 asal Nusa Tenggara Timur (NTT).

Abdur sejatinya serupa David, menjadikan cara pandangnya sebagai orang dari kawasan timur Nusantara untuk menertawakan Indonesia. Abdur memunculkan kekhasan orang timur yang lugas menyoroti ketimpangan Indonesia. Lihat saja cara dia menyentil maraknya gambar penguasa Orde Baru, Soeharto, bertanya, "Piye kabare le, isih enak jamanku ta?"

"Beliau itu mantan Presiden Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauke! Kenapa yang ditanya cuma orang Jawa? Saya tidak pernah menemukan gambar itu bertanya, 'he, pace, apa kemana kabar? Masih enak sama saya to?'"” kata Abdur dengan logat NTT yang memantik tawa. Ia pedas menyentil dominasi Jawa dalam keindonesiaan, sekaligus mengolok kenaifan orang merindukan Orde Baru.

Panggung Grand Final SUCI 4 jenaka sekaligus kuat memarodikan berbagai persoalan sosial. Kekuatan itu lahir dari keberanian David dan Abdur untuk memakai sekaligus mengolok cara pandang kedaerahan yang khas dalam melihat beragam soal. Itu menjelaskan mengapa keduanya berhasil menyisihkan 14 komika lainnya.

Stand Up Comedy Indonesia musim ke-4 dinilai Indro Warkop sebagai ajang komedi penuh warna.

"Kali ini colorful banget. Mereka memperkaya khazanah komedi Indonesia," kata Indrojoyo Kusumonegoro yang sejak musim pertama ikut mengaudisi dan menjadi juri SUCI.

David dinilai Indro mempunyai kekuatan pada premis atau bit-bit Betawi yang diangkat dengan cara berpikir modern.

"Dengan begitu, apa yang ia omongkan itu bisa dengan enak ditangkap semua orang. Bukan orang Betawi saja," kata Indro

Begitu juga Abdur sangat jeli mengangkat problem sosial di NTT, mulai dari tingkat kesehatan, termasuk angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi. Dia tidak memperolok-olok persoalan sosial itu, tapi memberi penyadaran orang tentang problematika itu dengan cara yang segar. Dia punya misi tentang pentingnya memajukan daerahnya yang tertinggal.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau