Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"The Look of Silence", Film Dokumenter Baru Terkait Pembantaian Tahun 1965

Kompas.com - 01/09/2014, 10:36 WIB


VENESIA, KOMPAS.com
 — Sutradara film kontroversial The Act of Killing, Joshua Oppenheimer, kembali mengeluarkan film dokumenter baru yang masih bercerita terkait masa-masa kelam tahun 1965.

Film dokumenter berjudul The Look of Silence itu tayang perdana di Venesia, Kamis (28/8/2014) lalu. Lewat film itu, Joshua kembali mengisahkan pembunuhan lebih dari sejuta orang yang dianggap komunis, setelah kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia gagal.

Dalam film kali ini, Joshua mendokumentasikan seorang pria bernama Adi Rukun, seorang ahli optik berusia 40 tahunan yang menelusuri para pembunuh saudara laki-lakinya. Film tersebut mendokumentasikan dampak konfrontasi di masa lalu terhadap para orangtuanya yang telah menua, istri, dan anak-anaknya.

Adi menggunakan usahanya untuk membuka komunikasi dengan para pembunuh. Ia menggali informasi saat memeriksa mata mereka tentang peran mereka dalam membunuh orang-orang yang dituduh komunis, yang juga dilihat sebagai musuh militer.

Saat ini, para pembunuh dan keluarga korban hidup berdampingan. Masing-masing sadar akan pihak yang lain. Namun, setiap dari mereka tidak ingin membuka luka masa lalu.

Dokumenter itu memasukkan cuplikan dari laporan televisi Amerika pada 1967 mengenai pembantaian dan seorang pembunuh yang memuji AS karena mengajarkannya membenci komunis. Jelas bahwa Oppenheimer sekali lagi berupaya mendapatkan reaksi dari Barat, yang menurutnya tidak hanya mengabaikan pembunuhan, tetapi juga mendorongnya.

Propaganda

Salah satu dari momen-momen yang paling alami dan melukai hati adalah ketika Adi menemukan bahwa salah seorang anggota keluarganya berperan dalam kematian abangnya, Ramli. Saat itu, Ramli dipenjara dan kemudian dibantai sebelum dilemparkan ke Sungai Ular.

Dua dari para pembunuh menunjukkan kepada Joshua tempat mereka melakukan eksekusi, menertawakan bagaimana ia menghabisi para korbannya sampai sempat-sempatnya berhenti untuk mengagumi dan mencium bunga di sepanjang bantaran sungai.

Salah satu yang mendorong Oppenheimer membuat film dokumenter tersebut terangkum dalam adegan di sekolah putra Adi. Guru sejarah di sekolah tersebut membela pembantaian itu dan memuji negara karena melindungi demokrasi.

"Tidak ada yang benar-benar berubah dan anak-anak masih dijejali propaganda. Ini mimpi buruk yang terjadi setiap hari," ujar Joshua.

Adi mengatakan, film dokumenter ini membawa jawaban dan kelegaan secara pribadi, Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada diskriminasi terhadap para keluarga orang-orang yang dituduh komunias di Indonesia.

"Kami selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang para pembunuh," ujar Adi.

Meski gagal mendapat permintaan maaf dari para pembunuh, ia berharap bahwa pelaku akan mengakui apa yang mereka lakukan.

"Bahwa itu salah dan bahwa kami tidak jahat, merekalah yang melakukan hal yang mengerikan," lanjut dia.

Ia berharap semuanya dapat saling memaafkan, sebuah langkah penting untuk meyakinkan satu sama lain bahwa saat ini semua orang dapat hidup bersama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau