Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Soekarno" Menjajal Pasar ASEAN

Kompas.com - 07/09/2014, 18:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Film Soekarno produksi Multi Vision Plus Pictures mendapat sambutan hangat ketika diputar di Singapura, Agustus lalu. Film itu menjadi film kedua yang diputar di luar Indonesia setelah The Raid. Industri film Indonesia kini coba-coba menjelajah pasar Asia.

Tak terasa, air mata Ana Rohana, pekerja Indonesia yang merantau 13 tahun di Singapura, menetes saat adegan teks proklamasi dibacakan. Suara asli Soekarno yang dicuplik dalam film Soekarno itu seolah membawanya kembali ke Tanah Air. Lagu "Syukur" yang syahdu membuat tangisnya pecah.

Saat adegan berakhir dan penonton mulai menuju pintu keluar, Ana masih berpelukan dengan sahabatnya, Satri, di kursi bioskop.

"Saya kangen Tanah Air. Melihat film itu, saya rasanya ingin balik ke rumah," kata Ana yang asli Grobogan, Jawa Tengah, seusai menyaksikan pemutaran Soekarno di Golden View Cineplex, Singapura.

Strategi produser film Raam Punjabi membawa film Soekarno ke Singapura memang jitu. Film Soekarno yang gagal meledak di Indonesia justru diapresiasi penonton Singapura yang notabene punya ikatan jiwa dengan Tanah Air. Apalagi pemutaran dilakukan berdekatan dengan Hari Kemerdekaan RI. Hasilnya, Teater 1 Golden View Cineplex yang berkapasitas 400 tempat duduk penuh oleh penonton, yang sebagian WNI. Semua tempat duduk terisi penuh oleh warga Singapura dan WNI.

Lepas dari Singapura, Soekarno juga akan dibawa ke Malaysia dan Hongkong pada September ini, dua negara tempat WNI banyak bekerja. Karya yang prima dan adanya tokoh pemimpin dunia dalam ceritanya diharapkan bisa menarik perhatian masyarakat internasional.

Pasar besar
Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 600 juta jiwa memang menjadi pasar yang menggiurkan dalam industri film. Menurut Nelson Mok, distributor film produksi Multi Vision Plus (MVP) Pictures untuk Singapura, orang akan memilih pergi ke gedung bioskop untuk menghabiskan liburan singkat.

"Mau ke mana lagi, kami tidak bisa naik gunung atau menikmati alam luas. Bioskop jadi alternatif utama menghabiskan liburan singkat," kata Mok.

Namun, merebut pasar Asia Tenggara tidaklah mudah. Di Singapura, misalnya, hingga kini, menurut Mok, bioskop masih didominasi film Hollywood. Film-film seperti Transformers dan The Amazing Spider-Man laku keras.

Thailand dan Filipina juga menjadi medan berat untuk dijajaki. Industri perfilman mereka ramai. Menurut Raam Punjabi, Filipina setiap tahun hanya menghasilkan kurang dari 50 judul film, atau lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia yang mencapai 80-100 judul film per tahun. Tetapi, di Filipina penetrasi pasarnya lebih besar. Banyak film yang menjadi box office. Perolehan film laku keras. Mereka bisa mencapai setengah dari nilai box office film Hollywood yang diputar di sana. Adapun di Indonesia, film box office bisa dihitung dengan jari, salah satunya The Raid, Ainun dan Habibie, ataupun 5 cm.

Pasar Thailand juga berat. Thailand tidak hanya produktif, tetapi juga menghasilkan film hit dan film festival, seperti Bangkok Dangerous yang populer atau Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives yang memenangi Festival Film Cannes 2010.

Menurut sutradara Hanung Bramantyo, salah satu faktor banyaknya box office di negara lain adalah banyaknya layar yang tersebar di semua kota di negara itu. Di Indonesia kota kecil banyak yang mempunyai bioskop.

"Malaysia juga punya peraturan tertentu, yakni pemutaran film minimal satu pekan untuk film produksi negeri sendiri. Aturan itulah yang membuat film lokal bisa terangkat," kata Hanung.

Raam, yang berpengalaman sebagai produser sejak tahun 1970-an, mengaku tak pernah berani membuat film yang dibuat khusus untuk pasar internasional karena sengitnya persaingan dengan film lokal di negara setempat dan film Hollywood. Kalaupun saat ini film-film Indonesia mulai merambah negara lain, itu karena film untuk konsumsi dalam negeri tersebut dinilai bisa laku di pasar internasional.

The Raid, misalnya, sudah mendapatkan hati di pasar dalam negeri, dan ternyata diterima baik di pasar internasional. Adapun Soekarno, menurut Raam, memang tidak meledak di dalam negeri, tetapi dari sisi tokoh dan kualitas film, film itu layak dijual di luar negeri.

Kalaupun nantinya Soekarno tak mendulang sukses di negara tetangga, setidaknya film yang mendapatkan tempat di hati perantau itu bisa dinikmati perantau lain di luar negeri. Menurut Raam, untung rugi tidak selalu menjadi patokan dalam berkarya. Terkadang, produser harus menghabiskan banyak uang demi membuat film berkualitas dan menyebarkan ide-ide di dalamnya ke segala penjuru meski merugi.

"Walau itu tidak bisa dilakukan terus-menerus," ujarnya. (Siwi Yunita Cahyaningrum)
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau