Capek juga ya ngomong soal politik dan para politisi. Kalau tak rebutan kekuasaan, ya saling cakar-cakaran. Maka, ini kali saya hendak bicara tentang seorang kawan yang berprofesi sebagai musisi.
Panggil dia Tony, Tony Q! Atau Tony Q Rastafara. Lelaki bertubuh ceking asal Perbalan, Semarang, Jawa Tengah. Lelaki yang kemudian dikenal oleh masyarakat pencinta musik reggae Indonesia sebagai pionir yang mengibarkan musik reggae di Jakarta mulanya, tapi kemudian dikenal oleh pencinta reggae di seluruh Indonesia.
Rasanya tak sah seseorang mengaku sebagai pencinta reggae jika belum mendengar lagu-lagu Tony Q. “Pesta Pantai”, “Damai dengan Cinta”, “Rambut Gimbal”, “Oom Funky”, adalah sebagian lagu-lagu Tony yang telah akrab di telinga penggemar reggae. Lagu-lagu yang ringan, gampang dicerna, serta bercita rasa Indonesia, adalah ciri khas yang menempel pada lagu-lagu Tony. Oleh sebab itu, lagu-lagunya gampang dihafal oleh pemujanya yang bisa menyanyikannya di rumah-rumah mewah hingga pinggir jalan.
Simaklah salah satu penggalan lagunya berikut ini,
Lukiskan jiwa kita, jangan terpisah
Lukisan cinta, harapan setiap insan
Damai dengan cinta, damai dengan cinta
Lepas, bebas, tanpa beban. Ditambah suaranya yang serak dan berat, posisi Tony di hati penggemarnya memang tidak bisa tergantikan oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang baru datang di kancah reggae, seperti kelompok Steven n the Coconut Trees, Gangsta Rasta, dan lainnya. Ditambah kepribadiannya yang rendah hati dan santun, membuat mereka yang telah mengenalnya langsung jatuh hati kepada Tony, baik sebagai musisi maupun sebagai pribadi.
Tony bukanlah sosok idola yang menempatkan dirinya di menara gading yang tak gampang disentuh oleh penggemarnya. Para pemuja Tony bisa dengan gampang menyapanya, menyalaminya, mengajak ngobrol, hingga ketawa-ketiwi dan foto bareng. Tony juga tak perlu bersembunyi di ruang-ruang rahasia yang steril dari penggemar.
Saban sore, jika tak ada acara, dia sangat mudah dijumpai di kawasan Bulungan. Sebab, begitulah biasanya Tony memulai harinya. Tiba di Bulungan menjelang sore, makan di warung Juice 13 yang terletak di pojokan kawasan GOR Bulungan, ngopi dan merokok sambil bercanda dengan kawan-kawan, mandi di kamar mandi rumah dinas pegawai GOR, melukis di emperan auditorium, lantas pergi dengan berkendara sedan VW Variant tahun 1964 yang kemudian ditambahi sendiri mereknya menjadi VW Rastavariant, menuju tempat di mana dia harus mengisi acara, seperti di BB's Cafe pada pertengahan tahun 2000 hingga tahun 2009, untuk konser saban Rabu dan Jumat malam.
Hidupnya yang ringan membuatnya leluasa mengalir ke laut mimpi-mimpinya bahwa pada suatu ketika musik dan lagu-lagu reggaenya bisa dinikmati dan diakui oleh pencinta musik di seluruh dunia sebagai reggae Indonesia. Reggae dengan sentuhan etnik Tanah Air yang melibatkan suara talempong dari Padang, gondang dari Batak, gamelan dari Jawa, hingga gendang jaipong dari tatar Pasundan.
Saya pertama mengenal Tony Q sekira tahun 1996 di Clasic Rock Stage di bilangan Blok M. Kala itu ia bermain bersama kelompok musiknya, Rastafara. Tony memegang gitar sambil mengibas-ibaskan rambut gimbalnya yang sebahu saat membawakan lagu "Bufallo Soldier" karya Bob Marley. Saat istirahat, ia mendekati para tamu, termasuk saya yang kala itu datang bersama rekan Agus Blues. Kami berkenalan, dan secara sopan ia memperkenalkan diri, "Saya Tony, Mas."
Begitulah, sejak saat itu saya mengikuti perjalanan musik Tony dari kejauhan. Tahun-tahun berikutnya, saya dengar dia mengisi acara di Cafe Pasir Putih, Kemang, Jakarta Selatan, sebelum akhirnya dia bermain di BB's yang berlokasi di daerah Menteng, hingga sekarang.
Tahun 2003, ketika saya secara intens berkunjung ke Bulungan, perkawanan saya dengan Tony pun tambah akrab. Kerap saya terlibat obrolan yang hangat tentang apa saja sembari minum kopi. Sekali waktu ngobrol tentang asal-usul manusia, di lain waktu kami membicarakan perkembangan musik. Bahkan pernah ia terlibat penggarapan lagu saya yang bercorak reggae.
Pernah pada suatu malam dia bercerita tentang music reggae dan perkembangannya. Katanya, sejak Bob Marley meninggal, tidak ada lagi musisi reggae dunia yang menonjol. Ada memang beberapa grup yang menyanyikan lagu reggae sempat melambung, seperti UB 40 atau Big Montains, tetapi keduanya cuma bertahan di satu single, sesudahnya mereka cukup dikenang pernah meramaikan jagat musik reggae.
Bahkan anak Bob Marley yang bernama Ziggy yang meneruskan jejak ayahnya pun tak kuasa menggantikan kedudukan Marley. Pun demikian dengan kelompok musik yang dulu pernah mengiringi Marley, Waillers yang hingga kini masih eksis, tak lebih sebagai penghias dunia reggae tanpa bisa melahirkan lagu-lagu gemilang seperti kala mereka bersama Marley.
Menurut Tony, Bob Marley memang tak sekadar seorang musisi yang menggelorakan reggae, tapi dia juga seorang yang kompleks, seorang yang juga terlibat dengan urusan religi melalui kepercayaannya sebagai penganut rasta, terlibat politik, dan tentu saja sangat peduli dengan kemanusiaan. Kedudukan Marley yang kompleks itu membuat musisi ini menjadi pribadi yang memiliki banyak dimensi, dan karena itu ia kaya warna dalam kehidupannya, sebuah keniscayaan yang harus dimiliki seorang “bintang” sebagai bagian dari sensasi yang melekat padanya.