UBUD, KOMPAS.com -- Bayangkan pedesaan internasional Ubud. Ada sawah, padi, jalan-jalan kecil, upacara, dan suara jangkrik di malam hari.
Suasana pedesaan itu sering kali ditingkahi bebunyian gamelan.
Sejak empat tahun lalu, suasananya menjadi berbeda ketika Ubud Village Jazz Festival mulai digelar.
Riuh tepuk tangan penonton menyambut lagu pertama pianis Michael Setiawan sebagai pembuka Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2016, di Museum Arma, Gianyar, Bali, Jumat (12/8/2016) sore.
Pianis kelahiran Denpasar ini memukau penonton yang sebagian besar wisatawan asing atau ekspatriat.
Ubud memang desa yang berbeda. Pertemuan tradisi dan kultur populer sudah dimulai jauh hari.
Setidaknya kita bisa mencatat, bagaimana upaya Walter Spies dan Rudolf Bonnet membangun kumpulan perupa Pita Maha tahun 1930-an bersama Tjokorda Gede Agung Soekawati.
Aktivitas itu kemudian melahirkan seniman-seniman mumpuni seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Ida Bagus Made Poleng.
Kini lewat jazz, Ubud seperti mengabarkan kepada dunia bahwa desa itu tidak berhenti untuk berproses.
Uniknya, proses Ubud menjadi desa internasional tidak membuatnya kehilangan jati diri sebagai wilayah "tradisional" yang tetap memegang teguh adat istiadat lokal.
Lewat jazz, kini tua muda berbaur dan berwarna memadati halaman sekitar museum.
"Ini pesan yang ingin disampaikan di tahun keempat UVJF. Jazz menjadi musik penuh toleransi dan disajikan di lokasi yang penuh toleransi pula," kata Yuri Mahatma sebagai Co-Founder and Artist Division of UVJF.
Jazz bisa jadi memang mewakili semangat zaman. Musik ini bahkan mulai identik dengan dinamika masyarakat kontemporer.
Bagaimanapun, Ubud tak mau ketinggalan.
Sebagai daerah tujuan utama pariwisata Bali, daerah ini sejak semula ingin mengadopsi kultur dunia menjadi bagian dari semangatnya untuk berkembang.