JAKARTA, KOMPAS.com--Bagai kawah candradimuka, JDMU menggembbleng koreografer dan penari dalam ajang pentas, produksi, promosi, media hingga meladeni penonton. Sebuah langkah kecil menuju iklim kepenarian yang lebih baik untuk Jakarta.
Di ruang ganti, Alisa Soelaeman dari Alisa Soelaeman Dance Project tampak malu-malu meladeni wawancara dengan media. “Saya tidak siap untuk wawancara sebetulnya,“ katanya sambil sesekali tertawa.
Namun Media tetap mengajak ngobrol soal karya, motivasi hingga pengalamannya sebagai penari maupun koreografer. “ Melalui pentas seperti ini saya punya kesempatan mengenalkan karya dan punya pengalaman pentas yang lebih, terutama sebagai koreografer," kata Alisa Soelaeman ketika ditanya mengenai manfaat ikut JDMU.
Apa yang tergambar pada Alisa Soelaeman bisa jadi mewakili keseluruhan peserta JDMU, yang selama setahun ini telah digelar 3 kali, diikuti 18 komunitas dan belasan karya dihadapan + 1500 penonton.
JDMU merupakan upaya untuk memetakan, memfasilitasi, dan merangkul komunitas tari di Jakarta. Platform ini memberikan ruang apresiasi dan edukasi yang berkelanjutan bagi pelaku seni tari Ibukota yang minim kesempatan. Memiliki tujuan bagi kemajuan seni tari, JDMU bisa dilihat sebagai bentuk penghargaan atas keragaman seni tari yang tumbuh di Jakarta. Tidak berhenti di sana, JDMU juga menjadi saluran yang tepat untuk berjejaring antar komunitas maupun sanggar yang memiliki karakter berbeda.
Tanggal 26 Oktober lalu, JDMU ke 3 menampilkan tari Alisa Soelaeman Dance Project (ASDP), Popo Julihartopo-Dance Melayu Bangka Belitung (DMB), Josh Marcy Putra Pattiwael dan Febyane S-Indonesian Dance Theatre (IDT), Yosep Prihantoro Sadsuitubun - Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) dan Dwi Yuliyaningrum-Sanggar Tari Paduraksa Tebet.
Secara bergantian, mereka menggelar karya sesuai latar belakang pengalaman hidup, kepedulian yang diekspresikan melalui gerak. Ada juga yang memadukan dengan narasi yang membantu kejelasan yang diungkapkan. Keragaman tema yang ditampilkan sangat beragama dan menarik, seperti persoalan penambang liar yang diangkat dalam karya berjudul asa oleh Popo. Dengan mengawali tarian dengan taburan lumpur kering yang ditimpa cahaya membuat karyaya menynetuh sekaligus keras menggugat kehidupan buruh tambang di Belitung.[
Namun ada juga yang mengankat kemiskinan, yang terinspirasi sajak karya Rendra yang berjudul Sajak Orang Miskin. Josh marcy memberi judul Walk at pedestrian. Sejumlah sketsa kehidupan di jalan, ketidak pedulian, persaingan, kehidupan yang asyik sendiri digambarkan dalam sketsa-sketsa gerak dalam balutan kostum keseharian.
Sedangkan tari Alisa Soelaeman Dance Project (ASDP), memilih mengkat persoalan cinta yang menurutnya masih penuh misteri dan tidak kunjung ada jawab. “Saya menawarkan tanya, bukan jawab “ katanya ketika menjelaskan perihal karyanya yang berjudul What are we talking about?
Selain 3 karya tersebut juga ada karya Febby yang sarat dengan aliran hiphop, Dwi Yulyaningrum yang kental dengan tradisi betawi dan madura, dan Yosep kari kipas yang mengelola karya yang mempersoalkan emansipasi wanita dalam karya kontemporer yang tidak hanya menyajikan gerak juga narasi tentang wanita. Narasi tidak sekedar menjelaskan tema, juga menjadi bagian dari bunyi yang menarik, sehingga menjadi bagian dari pentas.
Berbeda dengan forum festival atau lomba yang kerap mensyaratkan tema atau pemberlakuan kurasi, JDMU membebaskan peserta untuk berkarya dan Dewan kesenian jakarta akan melalui komite tari akan memfaslitasi pentas. Bukan Cuma faslitas diatas panggung juga promosi melalui pembuatan video singkat yang dapat disebar melalui sosial media, jumpa pers hingga masukan dari pengamat menyangkut karya.
Mengenai para pesertaJDMU ini, Rusdy Rukmarata selaku komite tari DKJ mengungkapkan sebagai “Young talents of today will be legends of tomorow “
Hartatai, selalu ketua Komite tari DKJ menyatakan Setelah 3 kali penyelenggaraan, JDMU menurut Hartati telah semakin besar, dalam arti tanggapan antusias komunitas, penonton maupun media. Hartatai, juga menyatakan sudah ada 50an antrian peserta JDMU untuk tahun depan. Namun secara karya-karya pada JDMU, Hartati memberi beberapa catatan, “Masih belum merata, baik secara teknis menari gerak maupun penguasaan penuangan tema menjadi koreografi “. Namun Hartati berpendapat JDMU sebagai potret kecil perkembangan tari di Indonesia secara luas.
Namun di sisi lain Hartatimemuji keragaman tema yang ditawarkan, memiliki ruang yang sangat luas, dari soal cinta dalam arti pria wanita, juga lingkungan, kemiskinan hingga persoalan seni itu sendiri, seperti proses berkarya.
Untuk tindak lanjut dari JDMU ini, Kata Hartati, selain akan ada evaluasi , peninjauan kritis secara menyeluruh, juga bisa saja bakal lahir forum lain yang mewadahi kelanjutan JDMU. Hartati juga mengugkapkan Apa yang dilakukan kami melalui tari tidak berhenti pada dunia seni saja, tapi jelas berkontribusi pada pertumbuhan rasa di masyarakat untuk bisa saling menghargai keragaman, memiliki daa tahan pada prses dan tentu saja pada akhirnya menuju masyarakat yang ebih baik. “Oleh karena itu diperlukan banyak pihak ntuk turun tangan, dalam bentuk apa saja untuk memajukan dunia tari," katanya. (Iwan)
https://entertainment.kompas.com/read/2017/10/29/081217510/langkah-kecil-penari-muda-jadi-legenda