B JOSIE SUSILO HARDIANTO
Educatio puerorum reformatio mundi.
Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia.
Taman Getsemani pada waktu malam adalah keheningan yang dalam. Perhentian akhir dari peziarahan dan sekaligus tempat istirahat abadi para Yesuit di Indonesia itu, bagi para frater novis Serikat Yesus sering pula menjadi perhentian saat mereka menunaikan tugas jaga malam.
Di depan nisan-nisan para Yesuit yang telah berpulang para muda Serikat Yesus Indonesia itu kerap melewatkan keheningan dini hari dalam doa-doa dan kenangan atas karya para pendahulu. Dalam kenangan dan doa atas mereka yang telah beristirahat kekal tersebut, para pemuda yang baru menapaki jalan panggilan imamat menimba kobaran semangat karya yang berbasis pada Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola.
Pada deretan nisan-nisan putih sederhana itu ada nama Nicolaus Driyarkara SJ, seorang filsuf yang saat ini namanya diabadikan sebagaimana nama sekolah tinggi filsafat. Lalu ada nama Josephus Gerardus Beek SJ, biasa dipanggil Pater Beek, tokoh yang tak jarang disebut dengan diam-diam oleh para novis. Mengapa? Salah satu karyanya saat membina anak-anak muda melalui khalwat sebulan (khasebul) kerap dinilai sebagai proses kaderisasi elite, serba rahasia, dan terkesan sembunyi-sembunyi. Selain itu, proses kaderisasi yang digarap dengan menggabungkan latihan fisik yang keras, serba spartan dan latihan doa yang intensif, sempat mengundang banyak reaksi.
Tak jarang yang menolak cara pendekatannya itu mengatakan, Beek adalah penganut Machiavelli. Tentang itu, kadang kebanyakan orang lantas hanya berhenti pada karyanya di khasebul dan menempatkannya sebagai sosok yang keras, tegas, kadang sedikit kasar karena melibatkan hukuman fisik, seperti tamparan.
Karena itu, dengan mudah ia diposisikan pada pribadi yang kontroversial. Tentu saja, bagi yang mengenal atau pernah menjadi anak didiknya, Beek bukanlah seperti itu. Ia mungkin kontroversial justru karena prinsipnya yang tegas, tidak terbawa arus, percaya diri, dan tidak setengah-setengah.
Bagi orang sekelas Beek, ia memang tidak mau menampakkan diri. Keugaharian (asketis) dipegangnya teguh sehingga ia tidak hanyut dalam popularitas. Namanya dikenal, tetapi orang jarang melihat sosoknya. ”Di dunia ini jangan bikin monumen, nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati!,” kata Pater Beek.
Jiwanya yang dikobarkan oleh semangat Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola telah menempatkannya sebagai garam dalam setiap karya yang ditekuninya. Ketekunan itu membuahkan hasil-hasil unggul, tercetak pada kader-kader binaannya atau melalui pengaruh pemikiran yang dapat mengubah dunia. Setiap orang yang terlibat merasakan, tetapi tak melihat sosoknya dan memang begitulah garam, ada sekaligus juga tidak ada.