Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siap Tak Dipandang

Kompas.com - 29/09/2008, 03:00 WIB

Dalam ilmu psikologi, tulis Soedarmanto, Pater Beek dekat sekali dengan teori identitas yang dirumuskan oleh JCC Smart. Smart menyatakan bahwa ketangguhan badan itu juga ketahanan jiwa. Orang yang tidak tahan sakit pasti juga akan mudah menyerah bila disakiti.

Tidak mengherankan jika dalam khalwat sebulan, selain latihan rohani, para mahasiswa yang dididik juga memperoleh penggemblengan fisik yang ketat lagi spartan. Ditampar, direndam dalam air dingin, dikerubuti nyamuk dengan tangan dan kaki terikat pada kursi adalah latihan-latihan yang diterapkan Pater Beek terhadap anak didiknya.

Bagi mahasiswa yang mudah marah atau kurang sabar, dilatih sabar dengan mengikat tangan dan kakinya di kursi pada malam hari dan diminta menahan gigitan nyamuk. Setelah satu atau dua jam latihan, si mahasiswa kemudian diajak berefleksi bersama. Namun, ia tetaplah pendidik yang sesungguhnya tidak tahan melihat anak didiknya takut kena hukuman.

Pada prinsipnya, upaya itu merupakan sarana agar setiap mahasiswa yang dilatih mengenal diri dan terbentuk karakter unggulnya. Keunggulan itu bukan semata-mata tahan deraan fisik, lebih dari itu, keunggulan itu ditandai dengan doa dan sikap bakti, asketis serta berdisiplin tinggi, memiliki sikap dan berani, tetapi sekaligus penuh empati. Seolah ia memang sengaja ingin menandai anak didiknya sebagaimana ia ingin menandai namanya big dalam bahasa Inggris yang berarti besar, tidak tanggung-tanggung dan bukan beek dalam bahasa Belanda yang berarti anak sungai.

”Menjadi kader berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; Keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika,” kata Pater Beek.

Anak Amsterdam

Josephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam, Negeri Belanda, pada tanggal 12 Maret 1917. Ciri khas orang Amsterdam yang blakblakan, suka terus terang dan ekspresif, sedikit terkesan arogan menjadi ciri khas Beek pula.

Beek lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara. Ia lahir ketika Perang Dunia I meletus. Setelah masuk ke Serikat Yesus dan menjadi novis tahun kedua, ia dikirim ke Indonesia.

Sejak anak-anak ia dididik di Kolese yang dikelola oleh Imam-imam Yesuit. Sejak anak-anak pula itu dididik untuk tidak bersikap setengah-setengah. Beek muda sejak awal tergembleng dalam lingkungan pendidikan Yesuit yang memadukan antara humanisme dan religiositas.

Ketika menjadi novis, semangat mudanya dikobarkan dengan gairah pergi ke tanah misi, Hindia Belanda, yang sekaligus secara politis adalah tanah jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda, negerinya. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pater Beek pernah menghuni kamp interniran.

Dalam buku ini, kisah di kamp itu juga menjadi ilustrasi pembentukan diri Beek yang spartan. Setidaknya, pengalaman itu menguatkan gagasannya dalam menggembleng mahasiswanya. Dan karena itu buku ini layak dibaca bukan karena semata-mata tokohnya yang masih kerap dianggap kontroversial dan penuh misteri, tetapi buah-buah rohani dari Latihan Rohani yang adalah dasar dari sikap dan pilihan perbuatan yang mengobarkan jiwa Pater Beek serta anak didiknya.

Menjadi garam adalah asin dan siap untuk melebur hilang dan tak dipandang, tetapi selalu terasa.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau