Ada sedikitnya 266 perusahaan
Letak geografis yang berdekatan membuat Malaysia menjadi tujuan utama TKI. Saat ini sedikitnya 2,2 juta TKI bekerja di sana dan hanya 1,2 juta orang saja yang tercatat. Selebihnya bekerja ilegal sehingga rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Para TKI ilegal ini dieksploitasi bekerja lebih dari delapan jam sehari dengan upah rendah dan terkadang tanpa libur. Mereka menerima gaji 300 ringgit-450 ringgit (sekitar Rp 900.000-Rp 1,3 juta) per bulan.
”Kalau orang tempatan (lokal) yang bekerja seperti Supriani bisa bergaji minimal 700 ringgit (sekitar Rp 2,1 juta) per bulan. Bisa apa TKI? Mau telepon ke kampung pun tak bisa,” ujar Alex geram.
Posisi mereka pun lemah. Saat mereka menuntut dipulangkan, agen malah meminta ganti rugi sedikitnya 7.000 ringgit (Rp 21 juta) per orang tanpa bersedia membayar ongkos pulang TKI. Akhirnya, TKI pun terpuruk di asrama mereka karena kerap agen tak lagi memberi mereka pekerjaan.
Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang B Razak mengungkapkan, persoalan yang kerap muncul selama krisis adalah perusahaan
”Kami sudah memanggil perusahaan-perusahaan itu dan meminta mereka memperlakukan TKI yang bertahan dengan layak. Bagi TKI korban PHK yang mau pulang, perusahaan harus membiayai karena ini kondisi di luar kemauan pekerja,” kata Tatang.
Perjuangan TKI mendapat pekerjaan dan kesejahteraan yang layak memang tidak mudah. Sejak Yanti Iriyanti dihukum tembak karena dituduh mencuri dan membunuh majikannya di Arab Saudi, 11 Januari 2008, sampai kini keluarga belum menerima jenazah.
Suami Yanti, Sugino, dan kelima anaknya sangat ingin mengubur Yanti di dekat rumahnya di Cianjur, Jawa Barat.
”Neng Widi, selalu menanyakan kapan mamanya pulang? Ia kerap mengatakan, mengapa mama teman-temannya sudah pulang, tetapi mamanya kok hingga sekarang belum juga pulang,” ujar Sugino.
Demi aliran devisa puluhan triliun setiap tahun ke Tanah Air, TKI harus menggadaikan jiwa. Sayang, mereka belum juga mendapat perlindungan yang berarti.