Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cinderella Itu Bernama Kate Middleton

Kompas.com - 31/03/2011, 09:05 WIB

Pertama, pernikahan ini adalah selubung indah dari kapitalisme. Sebagaimana pernah dikemukakan sosiolog George Ritzer, kapitalisme hadir lewat bujuk rayu dan kisah serupa negeri dongeng. Makanya, pernikahan ini bukan cuma sesuatu yang alamiah sebagaimana pertemuan dua insan, namun sudah bertransformasi sebagai arena kontestasi yang menawarkan display dari berbagai produk yang diluncurkan secara bersamaan. Pernikahan ini menjadi catwalk besar sehingga semua produk-produk mahal dipamerkan hingga menggoda banyak pesohor dunia.

Beberapa perusahaan seperti Alcatel meluncurkan ponsel khusus yang disesuaikan dengan momen pernikahan kerajaan antara William dan Kate. Selain ponsel, perusahaan elektronik General Electric (GE) juga membuat sebuah kulkas yang dihiasi gambar pasangan William dan Kate. Kalau Anda membaca liputan media terbaru, di situ ada cerita tentang mereka yang terlibat di pernikahan, seperti perusahaan pembuat film dokumenter, perusahaan penyedia karangan bunga, perusahaan penyedia pasukan pengamanan, hingga—yang menakjubkan—perusahaan penyedia permata safir biru yang dikenakan Kate Middleton. Permata yang kemudian menjadi tren, banyak perusahaan yang membuat duplikatnya yang lalu laris manis di Inggris dan Eropa.

Kedua, pernikahan ini kian menegaskan bahwa masyarakat kita memang masih menyenangi sesuatu yang disebut dongeng. Masyarakat kita sudah bertransformasi dengan amat cepat, tetapi tetap saja membutuhkan kisah-kisah yang romantis serupa kisah negeri dongeng. Sejauh pengamatan saya, terdapat begitu banyak liputan media yang menggambarkan kisah romantis mereka.

Kisah mereka digambarkan putus nyambung hingga beberapa kali selama beberapa tahun. Mereka diketahui pacaran tahun 2005 ketika bermain ski es di Swiss. Selanjutnya putus lagi pada tahun 2007 saat Kate melihat foto Pangeran William yang memeluk seorang wanita cantik di klub. Kate memutuskan cinta mereka. Kate mengekspresikan kesedihannya dengan menjadi pribadi yang berbeda. Kate yang dikenal sebagai wanita berpakaian santun tiba-tiba ketahuan berpesta gila-gilaan dengan saudaranya, Pippa, dengan menggunakan rok mini.

Kate dikenal sebagai "Waity Kattie", istilah karena Kate setia menunggu William dan percaya bahwa William memang untuknya. William pada akhirnya menyadari betapa ia telah kehilangan Kate setelah melihat foto-foto Kate yang menikmati hidup. Di balik foto-foto ceria Kate, sesungguhnya Kate merana. Tiga bulan setelah perpisahan tersebut, William mengundang Kate ke pesta kostum di baraknya di Bovington, Dorset, Inggris. Sejak saat itu, mereka kembali sebagai pasangan.

Puncaknya adalah ketika William melamar Kate saat mereka berlibur di Kenya. William menyembunyikan cincin milik ibundanya (Lady Diana) yang dulu digunakan Prince Charles saat melamar Lady Diana pada tahun 1981. William melamar Kate dengan sangat romantis dan personal, meski mereka enggan bercerita detailnya seperti apa ketiak Sang Pangeran berlutut untuk melamar Kate dan mengenakan cincin tersebut di jari manis Kate. Wow... It’s so romantic!

Ketiga, industri kapitalisme selalu saja membutuhkan ikon untuk selalu mengundang hasrat publik. Industri media selalu membutuhkan Cinderella baru untuk memantik simpati publik sehingga deg-degan mengikuti kisah ini. Jika beberapa tahun silam, Lady Diana menjadi ikon Cinderella itu, maka gelar itu akan jatuh ke Kate Middleton. Beberapa bulan lalu, saya membaca liputan Yahoo yang berjudul "Is Kate Middleton the new Princess Diana?" Sementara tabloid The Sun juga menulis: "Kate Middleton Trumps Princess Diana as queen of fashion". Pada harian lain, The Sun juga menulis: "Princess Diana’s legacy to burden Kate Middleton".

 

1301448691233203095

Kate Middleton (The Sun)

Memang, banyak yang membandingkan kisah kate dengan Diana. Namun, benarkah sama persis? Christopher Andersen, sang penulis buku William and Kate: A Royal Love Story, menyatakan bahwa walau keduanya sering disamakan sebagai wanita beruntung pilihan Pangeran Inggris, namun Kate dan Diana bagai dua kutub yang berbeda. "Ada perbedaan besar. Diana masih berusia 19 tahun ketika dia masuk ke dunia ini. Semua orang juga menganggapnya sudah tahu aturan karena dia adalah seorang aristokrat. Tapi dia dibiarkan sendiri. Dia tahu dari awal kalau suaminya mencintai wanita lain. Ini masalahnya dari awal. Pangeran Charles tidak mencintainya," ungkap Andersen.

Lantas, bagaimana dengan Kate? "Dalam hal ini, Kate tidak hanya sudah 29 tahun, tidak hanya dia sudah berpacaran selama 9 tahun dengan William, tapi juga karena keduanya punya komitmen yang sangat besar bersama," terang pria ini. Tetapi, tak bisa dimungkiri bahwa Kate dan Diana memang punya persamaan sebagai wanita yang hidup bak putri dalam dongeng. "Tapi nyatanya, mereka memang punya persamaan, seperti Kate yang sudah jadi ikon fashion, dan potensi yang besar untuk jadi selebriti," tutupnya. Hmm, apakah kita masih menganggap Kate sebagai duplikat Diana?

Pada akhirnya, pernikahan ini adalah sebuah panggung besar yang menjadi arena display dari industri dan produk. Meskipun sebagai konsumen media kita jenuh menyaksikannya, namun selalu saja hadir kisah-kisah romantis yang memantik hasrat ingin tahu dan kekaguman tentang betapa mewahnya pernikahan ini.

Kisah Cinderella itu hanyalah pemantik agar kita terus setia mengikuti perkembangan pernikahan ini serta tergoda untuk memiliki salah satu permata yang dikenakan Kate Middleton. Dan di saat bersamaan, kita kemudian melupakan segala problem yang sedang mendera hidup kita, melupakan timbunan masalah yang menyesakkan hari-hari kita. Yah…. Ini memang bukan zaman Cinderella. Tetapi, selalu saja ada Cinderella yang terlahir di muka bumi ini untuk menghipnotis kita. Dan, hari ini Cinderella itu bernama Kate Middleton. (*)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com