Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gatotkaca Itu Lahir di Mal

Kompas.com - 29/05/2011, 03:56 WIB

Sebelum pentas dimulai, dalang Sambowo memberi semacam pengantar singkat di atas panggung. ”Kami seniman dari kesenian tradisi mencoba berdialog dengan disiplin seni lain,” katanya.

Jika pertemuan lintas disiplin seni itu dianggap dialog,

Jabang Tetuko ini masih terasa sebagai dialog yang kagok.

Transformasi bahasa dari Jawa ke Indonesia dalam pentas terkesan sekadar mengkomunikasikan cerita. Dan penonton memang mampu menyerap makna dialog. Namun, upaya tersebut belum sampai pada taraf menjadikan bahasa (Indonesia) sebagai unsur tontonan yang enak dinikmati.

Peralihan adegan dari panggung ke layar film, atau sebaliknya, juga membekaskan kegagapan. Kostum panggung yang dirancang dengan pertimbangan estetika panggung dan kebutuhan tari itu terkesan kagok ketika diletakkan dalam lanskap riil, alam nyata. Narada, misalnya, dalam film mengenakan kostum panggung dan kepala yang masih mendongak berlari-lari di tengah hutan.

Adegan terbang tokoh Gatotkaca yang menggunakan peranti sling, semacam tali baja, sebenarnya bisa memberi sensasi terbang yang secara visual menarik. Persoalannya adalah Gatotkaca masih terbang dengan gerakan tari panggung dan belum memberi impresi terbang. Secara visual, ia masih terkesan sekadar diangkat dari permukaan lantai panggung.

Dalam versi wayang orang tradisi, tari lebih mampu menyampaikan gerak berupa kiprah, yang bisa diimajinasikan sebagai terbang. Rusman (almarhum), tokoh pemeran Gatotkaca legendaris dari Wayang Orang Sriwedari, Solo, menjadi panutan standar gerak kiprah tersebut.

Terobosan

Bagaimanapun, pentas Jabang Tetuko, an Immersive Cultural Experience yang didukung Djarum Apresisasi Budaya ini bisa dikatakan sebagai terobosan menarik dalam seni pertunjukan yang belakangan mulai diminati khalayak. Menggali tokoh superhero dari ranah tradisi dan membahasakannya dalam idiom tontonan modern merupakan upaya kreatif.

Sutradara Mirwan Suwarso menggagas pentas ini berangkat dari keprihatinannya pada kondisi wayang yang terasing dari publik di negeri sendiri. Ia lalu mengonsep wayang sebagai hiburan yang tidak segmentatif hanya untuk komunitas tertentu.

”Kalau kami memainkan wayang seperti apa adanya, berapa orang sih yang bisa mengikuti. Anak-anak Jawa di Jakarta saja tidak bisa menikmati,” kata Mirwan.

Jabang Tetuko merupakan terobosan dan ”bayi” dari upaya dialog lintas disiplin seni. Dan berkesenian adalah proses dialog tanpa henti, yang suatu kali diharapkan akan fasih juga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com