Sebagian besar lagu Novia Kolopaking yang diambil dari 11 album miliknya yang dikumandangkan pada tahun 1990-an itu digarap dalam selera musik anak muda oleh grup band Letto pimpinan Noe. Kolaborasi dengan kelompok musik Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib yang menekankan pada musik-musik perkusi dan iringan grup orkestra Matarantai membuat konser ini terasa megah. Kehadiran orkestra Matarantai yang terdiri atas kalangan akademisi musik yang dibentuk Emha Ainun Nadjib membuktikan bahwa Yogyakarta merupakan output terbesar dalam menyangga grup-grup orkestra di Indonesia.
Pada hari yang sama dengan konser Nokia Kolopaking, di Pondok Pesantren Al Qodir, kawasan Cangkringan, tepatnya di lereng Gunung Merapi, penampilan Iwan Fals, Sawung Jabo, Kiai Zastrow, dan dalang kontemporer Ki Enthus Susmono bagai sebuah kekuatan ”takbir” memberi pencerahan kepada warga yang baru saja terlanda bencana letusan Gunung Merapi itu. Bukan sekadar pentas musik, orasi
Disambut teriakan-teriakan agresif dari massa penonton yang merasa terpuaskan, lagu-lagu Iwan Fals dan Jabo diterjemahkan dalam dialog antara Zastrow dan Ki Enthus lewat wayang goleknya. Yang terjadi kemudian, lagu-lagu yang liriknya selalu berbicara tentang kritik sosial itu seperti mampu memberi referensi kepada khalayak penonton yang secara spontan bisa memahami persoalan yang menimpa dirinya.
Jabo dan Iwan Fals membawakan lagu terakhir berjudul ”Cinta”. Begini potongan liriknya, ”…orang bicara cinta, atas nama Tuhannya… namun mengapa membunuh, menyiksa berdasarkan keyakinan mereka…” Lagu itu diterjemahkan oleh Zastrow dan
Iwan Fals membawakan lagu itu benar-benar penuh penghayatan. Bahkan, pada puncak lagu itu, Iwan terkesan seperti memasuki dunia transenden (kesurupan). Sebuah penampilan yang jarang terlihat pada pementasan-pementasan Iwan selama ini. Apakah ini totalitas seorang seniman dalam menggelorakan visinya? Hanya Iwan yang tahu.
Yang pasti, kehadiran Jabo, Iwan, Zastrow, dan Ki Enthus bukan sekadar ingin berpentas musik. Mereka seperti ingin membawa kabar kepada rakyat bahwa pentas kolaborasi itu membawa semangat lebih untuk berkisah tentang situasi negeri yang perlu dikritisi.
Rakyat di pelosok tidak hanya disuguhi potongan-potongan kisah politik di televisi yang saling berbenturan dan sulit dipahami. Betapa pun kecilnya, Jabo dan Iwan dengan lirik-lirik lagunya atau Zastrow dan Ki Enthus dengan orasi-orasinya—yang malam itu banyak bicara tentang hak—sudah memberitahu tahu kenapa rakyat masih menderita.