Pendakian Gunung Tambora (3-habis)
KOMPAS.com - Pagi buta sudah bersiap. Suhu 10 derajat celsius ternyata mampu menusuk tulang meskipun tubuh sudah dibalut jaket dan sarung tangan. Pukul 02.30 dari pos lima di ketinggian 2.054 meter di atas permukaan laut, tim ekspedisi memulai summit attack!
Logistik berupa tiga tenda dome, alat masak, sejumlah carrier, ditinggal di pos. Tim hanya membawa backpack dengan kantung minum serta sedikit perbekalan. Sedangkan saya sendiri dan kamera person Rony Kuncoro tentu membawa kamera serta peralatannya. Tim sengaja mendaki 30 menit lebih awal agar bisa mengejar waktu terbaik ketika matahari terbit menyembur lanskap kaldera dan puncak.
Tidak jauh melangkah sudah dijumpai trek dengan kontur mendaki tanpa bonus sedikitpun, dengan tingkat kelandaian -yang ketika sebelum mencapai pos lima hanya 13 persen- naik menjadi 35 persen. Jelas saja lutut terasa berat dan suhu tubuh mulai memanas di tengah dingin dan terpaan angin yang kencang. Vegetasi di jalur trek didominasi oleh alang-alang dan cemara gunung. Semakin berjalan menambah ketinggian, vegetasi kian berkurang.
Di ketinggian 2.115 meter, anggota tim ekspedisi, Gunawan, terserang penyakit ketinggian dengan gejala yang dia rasakan salah satunya yaitu kepala pusing. Saya sempat berpikir, di ketinggian ini apakah penyakit ini sudah bisa menyerang? Tapi ini memang terkait dengan kondisi fisik seseorang. Pada kondisi tersebut cuma ada dua pilihan, turun mengurangi ketinggian atau terus mendaki dengan perlahan dan jangan sampai berhenti lama.
Dukungan Ahmad Arif, Indira Permanasari serta anggota tim lainnya, ternyata mampu mendongkrak mental Gunawan untuk terus memilih mendaki walaupun perlahan. Sementara paling belakang news reporter Kompas TV, Deden Hari Firmansyah harus mendampingi Nandita Erisca yang berjalan pelan agar tidak tertinggal sendiri. Saya sendiri bersama Rony harus jalan lebih lebih dulu karena mengejar target waktu terbaik di puncak.
Saya dan Rony lebih dulu mencapai ketinggian 2.432 meter. Fiuh...lega rasanya karena trek mulai mendatar dengan tingkat kelandaian hanya 2-15 persen saja. Radio panggil yang sebelumnya saya pegang, sudah diserahkan ke Ahmad Arif yang harus memantau perjalanan Gunawan, Nandita dan Deden paling belakang. Di ketinggian ini mulai jarang terdapat vegetasi sehingga terpaan angin bertambah kencang. Yang kami injak berupa pasir padat dan batuan beku vulkanik.
Beberapa bongkahan terlihat sangat besar, berupa bongkahan bom yang saat letusan 1815 terlempar jauh. Belum termasuk batu apung yang dulu menghujan diiringi dengan aliran piroklastik hingga ke laut. Sungguh dahsyat letusan Gunung Tambora yang jejak geologinya masih terlihat hingga kini.
Bersembunyi di ceruk
Saya bersama seorang pemandu memilih menambah kecepatan pendakian. Tidak jauh di belakang ada Rony dan pemandu. Sedangkan anggota tim lainnya berada di kejauhan terlihat dari tanda titik-titik cahaya headlamp yang pelan bergerak.