Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wawancara dengan Yockie 2: Sejak Keluar, Tak Ada Sepeser Pun dari God Bless

Kompas.com - 25/10/2011, 11:56 WIB

Saya tidak mencari duit apalagi mencari popularitas. Paling tidak, apa yang saya lakukan itu yang kalian kaji. Menghargai lah, cukup menghargai saja.

Kalau ada alasan agak repot menentukan pencipta lagu dalam God Bless, apa pendapat Anda?

Enggak bisa seperti itu, karena di God Bless semenjak 1988, di saat rekaman "Semut Hitam" itu, pendataan itu jelas, siapa yang mencipta itu jelas. Artinya, paradigma di God Bless berbeda dengan paradigma sewaktu saya di Kantata Takwa membikin lagu.

Kalau di Kantata, saat saya membikin lagu "Kesaksian" atau lagu apa pun juga, saya workshop dengan Iwan Fals dan Sawung Jabo. Bertiga saya workshop di studio. Saya biarkan Mas Iwan bernyanyi, Jabo juga main sendiri, saya main sendiri, terus saya rekam. Pelan-pelan notasi spontanitas itu saya bangun, saya simpan dalam laptop sebagai raw material, bukan lagu. Kemudian, setelah selesai, saya bawa ke studio sendirian. Kemudian, raw material itu, ada ekspresi saya, Iwan, dan Jabo, saya rancang menjadi notasi yang terukur, menjadi refrain dan lagu. Setelah jadi refrain dan lagu, saya bikin aransemen musik dasar. Setelah selesai itu, saya telepon Rendra (almarhum WS Rendra). Saya minta lirik buat lagu "Kesaksian". Itulah prosesnya. Jadi, proses sebuah lagu dalam Kantata semua bareng-bareng. Jadi, di lagu "Kesaksian" itu enggak bisa dibilang lagu Yockie sendiri atau lagu Iwan sendiri, tapi itu lagu Yockie, Iwan, Jabo, dan Rendra selaku penulis lirik.

Tapi, kalau di God Bless, tidak seperti itu. Di God Bless, selama rekaman, kami bergaul lebih intens hanya saat mau rekaman dan mau main. Di luar kegiatan itu kami tidak berhubungan. Artinya, di luar itu kami punya wilayah pergaulan berbeda. Jadi, kalau bicara rekaman, katakanlah kami akan rekaman tanggal 10, jauh-jauh hari sebelum tanggal 10 itu saya bikin lagu sendiri di rumah, kemudian masuk studio. Oke, setelah di studio mau lagu siapa duluan direkam, misalnya lagu Yockie duluan, setelah itu baru saya duduk di piano dan saya rekam lagu saya, lalu saya kasih guide untuk Donny (Donny Fattah Gagola) main bas, lalu untuk Ian (Ian Antono) main gitar, dan untuk Teddy Sudjaya main drum. Mereka lah yang merespon lagu saya. Jadi, prosesnya jelas, siapa komposer, siapa arranger, karena yang lain menyesuaikan, sesuai apa yang saya inginkan. Tapi, kalau kemudian mau nyoba yang lain sih terserah, asal jangan keluar dari pattern yang saya ciptakan atau pattern yang Ian dan Donny ciptakan.

Kalau kemudian ada lagu "Rumah Kita", yang Ian ciptakan, itu dia bikin sendiri, saya enggak ikut-ikutan. Dia main sendiri dengan gitar, saya dan yang lainnya menyesuaikan isi piano, isi bas, isi drum.

Jadi, di God Bless itu, enggak bisa diklaim itu lagu sama-sama. Tidak bisa seperti itu lah, karena memang tidak pernah bikin lagu sama-sama. Kalau pun ada, itu berdua. Seperti saya sama Donny di lagu "Semut Hitam", yang bermula dari gagasan Donny, terus saya yang bikin liriknya. Jadi, jelas itu bikinan Donny Fattah dan Yockie. Nah, kalau "Kehidupan" dan "Menjilat Matahari", itu bikinan saya. Apalagi, lagu "Raksasa".

Kalau dibilang repot menentukan siapa penciptanya, mungkin itu kasus Ian sendiri di God Bless sekarang ini, bukan kasus saya. Bisa saja itu kasus God Bless selama ini, yang sudah tanpa saya. Ini bukan terjadi di kasus saya.

Kalau sudah begini, apakah Anda dan God Bless bisa duduk bareng atau malah terpaksa melangkah ke wilayah hukum?

Seperti yang saya tulis di Facebook saya, saya ini motivasinya bukan untuk mempermalukan mereka atau bukan juga untuk memperebutkan masalah ekonomi royalti, bukan itu juga. Saya ini hanya ingin menegakkan etika, karena setelah bergaul di musik, saya juga bergaul di budayawan. Saya banyak belajar mengenai etika, bagaimana etika kita morat-marit. Ketika saya kembali ke dunia musik, ternyata etika kita ini sudah mulai kacau. Bukan mengenai mempermalukan orang atau mencari popularitas, tapi ini masalah etika.

Sudah sulit bagi saya untuk memakai cara-cara yang biasa, tapi ternyata mereka tidak paham, mereka tidak taat hukum. Kalau sudah tidak taat hukum, ya pantas saja mereka di mata saya sudah tidak tahu etika.

Jadi, God Bless masih bisa membawakan lagu ciptaan Anda?

Ya, itu dia etika. Ketika mereka sudah menyadari kekeliruan mereka, "Ternyata kita naif, ternyata kita enggak sadar akan kesalahan, enggak sadar hukum," masa saya mau menuntut ganti rugi masalah kenaifan itu? Ya enggak lah. Cuma, seterusnya, ya minta izin lah, karena ada aturannya, ada transaksi komersial itu ada yang melindungi dengan undang-undang. Kalau mereka memahami itu, ya silakan saja. Saya pun tidak ada masalah.

Tapi, kan selama ini saya tersiksa itu karena mereka tidak punya etika, melecehkan gue, membicarakan gue seenaknya, mencari duit pakai karya gue. Itu kan kesalnya di situ.

(berlanjut ke bagian ketiga)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com