Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tenggelam dalam Ekstase Konser

Kompas.com - 29/01/2012, 19:54 WIB

Keranjingan konser

Apa yang membuat musisi asing berbondong-bondong menggelar konser di Indonesia? Penarik utamanya tentu saja pasar industri konser yang besar. "Pasar kita sekarang terbesar nomor dua di Asia setelah Jepang," ujar Marcel Permadhi, Direktur Berlian Entertainment.

Tidak hanya besar, lanjut Marcel, pasar di sini sudah kecanduan nonton konser. Apa pun musiknya, pasti ada penontonnya. Berapa pun harga tiket, pasti ada pembelinya. Marcel punya pengalaman soal itu. Ketika perusahaannya menggelar konser David Foster tahun 2010 di Jakarta, tiket termahal konser tersebut yang selembarnya Rp 25 juta tetap jadi rebutan orang.

Segmen pasar konser di negeri ini juga terbentang luas mulai dari anak-anak usia 1-5 tahun, remaja usia belasan tahun, hingga orang dewasa berusia 50-an tahun ke atas. Namun, menurut Tommy Pratama, pasar konser terbesar saat ini ada di segmen remaja. "Mereka termasuk boros nonton konser," ujarnya.

Mari tengok pengeluaran Andine (18), pelajar SMA di Jakarta Selatan. Sepanjang tahun 2011, dia menonton lima konser dengan harga tiket Rp 500.000-Rp 1 juta. "Kalau nonton-nya di luar negeri, pengeluarannya pasti tambah," kata Andine, yang ditemui sebelum menonton konser Katy Perry.

Pencinta konser berusia dewasa tidak kalah borosnya. Tinuk (40) mengaku setiap bulan rata- rata mengeluarkan Rp 2 juta untuk nonton konser. Kalau dikalikan setahun, jadi Rp 24 juta.

Sebagian pencinta

"mengorganisasi" diri dalam komunitas maya. Salah satunya, komunitas JakartaConcert.com. Komunitas ini didirikan dan diasuh oleh M Ryan Novianto (24), pencandu konser yang selama tahun 2010 menonton 50-an konser.

Siapakah mereka? Mereka adalah bagian dari kelas menengah Indonesia yang dalam hitungan Bank Dunia jumlahnya 134 juta orang. Sebanyak 29 juta di antaranya, menurut survei Nielsen, merupakan kelas menengah premium yang nilai belanjanya setiap tahun amat fantastis jumlahnya. Sebagian dari mereka adalah komunitas masyarakat baru yang tumbuh seiring dengan bertumbuhnya perekonomian Indonesia sejak tahun 2000.

Perekat sosial

Bambang Sugiarto, pengamat sosial dan dosen filsafat dari Universitas Parahyangan, Bandung, melihat merebaknya konser musik belakangan ini ada kaitannya dengan bangkitnya kelas menengah di Indonesia. Mereka secara finansial telah mapan dan ingin menikmati hiburan, termasuk menonton konser.

Kegandrungan untuk menonton konser ini kian besar lantaran perekat sosial tradisional, seperti agama, suku, dan partai politik, kian tidak jalan di kalangan kelas menengah. "Orang, misalnya, tidak mau memikirkan partai sebab di dalam partai orang korupsi dan gontok-gontokan," ujarnya.

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat mencari perekat sosial yang baru. Dan, sebagian dari mereka menemukannya di komunitas-komunitas yang lahir karena kesamaan minat, termasuk komunitas pencinta konser. "Di sinilah mereka benar-benar melebur, terekat, dan tenggelam dalam ekstase kesenangan yang sama," tutur Bambang. (Budi Suwarna/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com