Sembilan tahun menyanyi di
Ia tidak ingin tamu-tamu yang datang ke kafe melihatnya hanya seperti ”perlengkapan” yang sekadar ada di sana. ”Aku memang penyanyi kafe, tetapi aku harus punya sesuatu yang beda.”
Regina tak hanya menyuguhkan suara indah ketika menyanyi. Ia berusaha menyentuh hati pendengarnya dengan kisah yang ia sampaikan sepenuh hati lewat lagu. Ia berusaha menemukan ”jiwa” dalam setiap lagu yang dinyanyikannya.
Ketika lagunya berkisah tentang sukacita, Regina pun dialiri keriangan menyanyikannya. Saat lagunya sendu, Regina juga seolah ”curhat” menuangkan kepedihan di situ.
Penghayatan atas lagu itulah resep Regina untuk merasa nyaman di atas panggung meskipun ia mengaku kerap grogi menjelang naik panggung.
Regina tidak pernah secara formal mengikuti pendidikan menyanyi. Ia belajar secara otodidak dan dalam komunitas band. Ia pun mempelajari setiap kegagalan dan terus memperbaiki kekurangan.
Kegagalannya pada audisi Indonesian Idol pertama tahun 2004, misalnya, kata Regina, karena ketidaksiapan mental. Kegagalan pada audisi tahun berikutnya ia yakini karena memilih lagu yang menuntut kapasitas menyanyi jauh di atas kemampuannya saat itu.
Setelah gagal audisi, sempat terlintas di benak Regina untuk melupakan niat mencoba lagi peruntungan di tahun berikutnya. Namun, begitu melihat iklan ajang itu akan dimulai lagi, ia selalu kembali mendaftar. Ia menyebutnya, panggilan jiwa.
”Padahal, orang-orang di sekitarku sudah pada males, paling enggak lolos lagi, kata mereka. Sampai mamaku juga bilang gitu,” tambahnya.
Bagi Regina, penyanyi yang paling memberinya inspirasi adalah Adele, penyanyi Inggris yang tahun 2012 ini memborong enam penghargaan Grammy. ”Dia bisa nyaman dengan tampilan fisik dia. Memang di luar negeri mungkin orang lebih mudah menghargai karya daripada tampilan fisik, ya.”
Kini, Regina disebut sebagai selebritas baru. Ia melihat jalan karier bernyanyi seperti melihat cakrawala. ”Aku mau mimpi setinggi mungkin,” katanya.