Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukit Masa Tua Drumer Jazz

Kompas.com - 29/07/2012, 19:14 WIB

Berlin Jazz Festival. ”Kami main lagu, improvisasi di tengah lalu hilang. Hilang dalam arti kita main dalam nada-nada yang cocok,” kenang Benny.

Tepuk tangan sambil berdiri serupa juga dipanen ketika mereka tampil di Tokyo dengan lagu irama Sunda. ”Oom main ritme, Maryono kesetanan meniup flute. Suasananya tidak bisa dideskripsikan harus mengalami sendiri. Bule tahu, ini luar biasa. Momen gitu enggak bisa dihitung uang. Satu kekayaan yang kita bawa mati,” tambahnya.

Ketika berbincang tentang drum dan jazz, semangat muda Benny kembali bergejolak. Matanya berbinar dan bicaranya langsung berapi-api. Ia bercerita petualangannya bermain musik di semua kota besar di dunia. Kepuasan terbesar menjadi musisi bagi Benny adalah memberi penghiburan bagi orang lain.

Perkenalan Benny dengan musik jazz dimulai pada usia 13 tahun. Benny tertarik soul dan beat musik jazz yang disiarkan tengah malam di radio Voice of America. Ia lantas belajar bermain drum dari seorang drumer asal Ambon, Bart Risakotta. Sadar tak bisa kaya di jalur musik jazz, Benny sempat mencoba bekerja di pelayaran, tapi tidak betah.

Benny lantas bermain sebagai drumer profesional sejak 1957 dan diberi penghargaan oleh Bung Karno sebagai satu dari 17 anak muda yang menonjol. Bersama Bing Slamet, Ireng Maulana, dan Idris Sardi, Benny mengikuti New York World Fair 1964 sebelum kemudian berkeliling Eropa hingga Afrika.

Ekstra hemat

Meski sudah berkeliling dunia, jazz ternyata tak bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan. Jika tak ada jadwal tampil, Benny harus ekstra berhemat. Kuliah anak pertamanya di Universitas Indonesia sampai memakan waktu sepuluh tahun karena harus ikut vakum ketika Benny tak mendapat tawaran tampil.

Benny pun bersiasat. Ia juga bergabung dengan grup pop dan rock. ”Amplopnya ya dari grup rock dan pop. Kalau jazz kita nikmatin, terserah dibayar berapa aja. Musik jazz enggak bisa dipelajari, kita harus dengar dan hati harus tersentuh,” kata Benny.

Uang yang dikumpulkan dari bermain musik digunakan untuk membeli tanah seluas 1.000 meter persegi. Awalnya, Benny hanya membangun satu kamar berukuran 4 meter x 4 meter sebelum kemudian bertumbuh menjadi lima kamar plus dapur, ruang tamu, kamar mandi, dan sebuah paviliun di halaman belakang.

Kamar yang pertama kali dibangun itu sempat menjadi kamar anak bungsunya, Ali Mustafa, yang pernah menjadi anggota boyband Coboy pada era 1990-an. Kamar Ali itu kini digunakan sebagai ruang jemuran baju.

Meskipun memiliki darah keturunan Belgia dan banyak anggota keluarganya bermukim di Belanda, Benny mengaku lebih nyaman tinggal di Jakarta. ”Oom ada di akhir kehidupan Oom sebagai musisi. Oom ingin hidup tenang dan meninggal tanpa rasa sakit,” ujar Benny.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com