Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelangi Musik Tohpati

Kompas.com - 03/03/2013, 14:14 WIB

Apa ukuran kepuasan kerja musisi?
Musik saya harus ada standardisasi, jangan sampai musik yang saya garap elek. Saya malu. Ada standar minimumnya. Kalau saya hanya hasilkan uang saja, rasanya enggak enak banget. Saya harus juga enjoy mengerjakannya.

Saya pernah mengerjakan jingle iklan, tetapi tidak terlalu cocok. (Ia pernah membuat lagu iklan untuk produk minuman, properti, dan lainnya). Itu karena disuruh orang. Namun, identitas saya tidak ada di situ. Enak duitnya saja, lumayan, tetapi cara kerjanya sangat menyiksa. Saya hanya ingin coba saja kerja seperti itu.

Dari rock, bagaimana Anda ke jazz?
Pertama kali justru ketika dengar Casiopea dan Mezzoforte. Kok enak harmoni, groove, dan voicing-nya. Saya lumayan suka. Lalu waktu SMA saya mulai bergeser ke John Scofield, Mike Stern. Lama-lama jadi suka Pat Metheny dan akhirnya jadi lebih suka Pat. Lama-lama juga saya lebih sering mendengarkan jazz daripada rock.

Namun, jejak rock masih kuat ya?
Ya, rock saya itu selalu ngikut. Ketika saya bersama Ethnomission dan Simak Dialog, rocknya tetap keluar. Itu karena dulu saya main rock dan itu enggak bisa bisa hilang. Namun, paling banyak memang di jazz. Di industri saya lebih banyak cari duit tanpa menghilangkan pagar-pagar standar musikalitas. Kalau ingin eksperimen, ya di jazz.

Bermain di industri

Bagaimana Anda menyeimbangkan standar artistik dengan kepentingan industri yang cenderung komersial?
Saya biasanya melihat dulu suaranya. Saya lihat penjiwaan dia di musik. Memang sering kejadiannya tidak match. Kadang saya bingung di situ. (Tohpati mencontohkan penyanyi perempuan yang pernah ditanganinya dan belakangan cukup populer).

Dia itu vokalnya dark banget. Referensi dia itu (penyanyi) Bjork. Memang tidak segmented kalau dituruti. Buat label itu terlalu berat. Label ingin ia ke arah musik yang bright, musik yang pop banget. Namun, saya tak mau dia ke kanan banget. Saya tidak ingin dia terlalu bright.

Kasihan nanti penyanyinya. Kasihan jati dirinya juga. Karena itu, saya bikin agak ke sini sedikit karena enggak tega juga, sebenarnya penyanyinya enggak seperti itu.

Bagaimana mengarahkan Bams?
Dia itu ternyata sangat tidak rock. Kaget saya. Dia itu senangnya lagu-lagu Frank Sinatra, yang swing, shuffle. Namun, kembali untuk kepentingan industri harus pelan-pelan supaya industri tidak terlalu terkejut. Jangan tinggalkan fans yang sudah ada.

Kondisi industri musik sekarang seperti apa?
Lagi buruk. Orang sudah jarang beli album fisik, CD. Dan ring back tone (RBT) juga sudah enggak ada. Namun, penyebab utamanya bukan RBT. Menurut saya, yang bikin jatuh itu teknologi, seperti MP3 dan gadget. Semua orang bisa copy dan cukup hanya mendengarkan (dari alat pemutar). Jadi, orang merasa enggak perlu beli CD. Jika begitu, ya produksi tak berjalan.

Masih ada harapan?
Saya termasuk yang optimistis. Pasti kondisi tidak akan seperti ini terus. Yang indie-indie masih jalan. Dengan produksi yang secukupnya, dengan komunitas yang pas, masih jalan dan tidak rugi. Seperti album Bertiga, kami cetak CD dengan produksi yang wajar, tidak banyak, dan segmen yang jelas. Saya sudah BEP (break even point), balik modal, artinya enggak rugi. Artinya masih berjalan.

Namun, kalau artis harus beli lagu, mastering dan mixing sampai puluhan juta bahkan ratusan juta, itu yang susah ngembaliin (modal). Makanya sekarang semua ngerem kecuali yakin sebuah album bisa meledak. Sedihnya di situ.

Sekarang biasanya artis hidup dari live concert, bukan dari royalti. Sekarang saya mengandalkan sebagai music director live, acara off air, atau produksi orang yang masih punya hasrat, masih punya budget yang cukup, dan masih punya sesuatu yang idealis. Jadi, musik kita masih ada, tidak mati, hanya makin sedikit. (Sarie Febriane dan Frans Sartono)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com