KOMPAS.com - Safrida Purnamasari (37), atau akrab disapa Frida Harahap, menjadi penuh warna dan bercahaya ketika berbicara tentang lampu. Saat itu hatinya ikut berbicara. ”Buat aku, lampu tidak sekadar alat penerangan. Tetapi ’art statement’ yang menciptakan suasana....”
Lampu dekorasi telah menjadi petualangan hidup, jelajah ide, sekaligus rekam kenangan bagi Frida. Singkirkan bayangan bola lampu botak dengan steker dan kabel-kabel listriknya. Ketuklah pintu toko CahayaLampu di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Dan mata Anda akan dimanjakan ragam bentuk unik, motif, dan warna-warni lampu dekorasi produk perusahaan yang didirikan Frida. Mulai dari lampu meja, lampu tinggi, lampu gantung, lampu dinding....
Di antara lampu-lampu cantik itu, muncullah Frida Harahap dengan kemeja denim dan celana tiga perempat warna senada pada siang pertengahan Maret lalu. Wajahnya terpoles riasan tipis tanpa perhiasan melekat. Rambutnya hitam lurus dipotong sebahu.
”Aku senang warna hitam, biru, abu-abu, dan putih. Kalau buka lemari, hampir semua bajuku warnanya senada,” ujarnya. Bertolak belakang dengan puluhan lampu-lampu bermacam warna di sekitarnya. Namun, Frida tetaplah cahaya paling terang di ruangan penuh lampu itu.
Keputusannya berhenti dari pekerjaannya di bidang periklanan untuk mengikuti hasrat hati menekuni bisnis lampu dari nol telah membuahkan hasil. Frida beberapa kali terpilih sebagai finalis dalam ajang perempuan wirausaha berkat keunikan, kreativitas, dan kualitas produk lampu dekorasi.
Suka lampu
Bagi Frida, lampu adalah seni yang menciptakan suasana. Cahaya yang menerabas ragam tudung lampu mewujudkan atmosfer, suasana hati, dan karakter tertentu pada ruang.
Sedari kecil, Frida menyukai benda bercahaya. Dia masih mengenang betapa senangnya berjalan-jalan ke sebuah toko khusus lampu di Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, bersama almarhumah ibunya. ”Ke toko pakaian saja aku enggak segirang itu,” ujarnya.
Teman dan keluarga pun sering mendelik keheranan ketika menonton film yang menjadi perhatian Frida bukan sang bintang film, melainkan lampu-lampu dekorasinya. Saat berlibur ke luar negeri bersama keluarga, Frida pun selalu menyempatkan ke pasar loak mencari lampu-lampu tua.
Koleksi lampu milik Frida di ruang-ruang rumahnya merupakan perca-perca kenangan.
”Sepasang lampu ini kenangan aku bersama ayah. Aku beli lampu bekas ini di Australia. Ayahku bantu memegangi lampu ini sepanjang perjalanan dari Sydney hingga Jakarta,” ujarnya menunjuk sepasang lampu dengan tubuh dari tabung kaca dengan garis tepi perak.
Tudung lampu bekas itu lantas diganti bentuk unik kombinasi warna perak dan biru. Sepasang lampu itu memiliki warna dengan kombinasi berbeda. ”It’s a couple, berbeda tetapi harus melengkapi. Orang suka bilang, aduuuh... ribet deh lu,” ujarnya. Dan, di dalam tubuh kaca bening lampu diisi bunga pemberian sang suami yang sudah dikeringkan dan boneka kepik perlambang kedua anaknya.
Dia lalu menunjuk sebuah lampu gantung di ruang makan. ”Ini lampu dari mertuaku. Sudah mau dibuang. Tetapi aku pulung. Aku ingin ada cerita tentang mertuaku,” ujarnya.
Di tentakel lampu itu digantungkan kristal dari sisa-sisa dari lampu kristal lama milik almarhum ibunda Frida. Ada satu lampu lagi yang mengesankan Frida. Sebuah lampu berlapis kain hijau pupus dari kaleng bola-bola keju yang dibuat anaknya saat Frida berulang tahun. Lampu itu bertengger di meja kerja Frida. ”Anakku kasih untuk kejutan di hari ulang tahun,” ujarnya lalu tersenyum.
Saking sukanya mengumpulkan lampu, sewaktu pulang ke Tanah Air usai menempuh pendidikan di Australia, bagasi Frida sempat kelebihan beban 100 kilogram. ”Isinya lampu semua, ha-ha-ha,” kata Frida.
”Dulu ayah pernah nyeletuk, ’kau disekolahkan jauh-jauh kerjanya beli lampu saja. Sudahlah, nanti buka toko lampu saja di samping rumah.’ Kejadian deh, ha-ha-ha,” kenang Frida.