”Ditambah dukungan teman-teman dekat, saya menemukan the real me melalui angklung pada usia 39 tahun; sebagai guru yang suka mengajar anak-anak di kelas,” ungkapnya dengan tatapan jauh. ”Dengan dukungan mereka, ketakutan saya menguap.”
Pengalaman telah mengajari Tricia untuk selalu mendengarkan dan menghormati pendapat Anastasia Vania Putri Sudradjat (19). Putri semata wayangnya yang kuliah di Dickinson College, Carlisle, Pennsylvania, dengan fokus antropologi biologi itu suatu hari bilang, ”Saya ingin menjadi penari.”
”Terus terang, saya kaget,” kata Tricia, orangtua tunggal sejak beberapa tahun lalu. ”Ia punya potensi di bidang lain. Ia suka filsafat, pemikir sekaligus people person, tetapi saya juga tak bisa membayangkan Putri tidak menari. Saya ingin ia punya passion atas apa pun yang dia pilih dengan sadar dan cerdas. Saya terus mendampingi dalam fase kebingungannya saat ini.”
Filosofi dalam
Seraya mengajar angklung, Tricia memasukkan pengetahuan dan bahasa Indonesia lewat nyanyian anak-anak. Setiap kali ia juga menemukan hal baru sehingga kerja sukarela itu memberinya kekayaan batin tak ternilai.
Angklung yang mengandung filosofi tentang kebersamaan, harmoni, respek, dan non-ego bisa dimainkan siapa pun. ”Bahkan menjadi terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”
Ia menunjukkan rekaman permainan angklung dari lagu ”Ibu” karya Melly Goeslaw, yang terasa lebih menyentuh kala dimainkan anak-anak down-syndrome.
”Waktu pulang tahun lalu, saya bertemu Ibu Aryanti dan Pak Budi dari Center of Hope yang melatih anak-anak itu bermain angklung. Ibu Aryanti adalah Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia,” ujar Tricia, ”Proyek ke depan adalah menghubungkan anak-anak down-syndrome di Indonesia dan di AS melalui angklung.
Rumah Indonesia
Pada awalnya adalah keprihatinan. Anak-anak Indonesia yang lahir dan tumbuh di AS cenderung tercerabut dari akar budayanya meski orangtua masih memegang akar keindonesiaannya.
Tentang identitas bikultural itu, Tricia menyebut ukuran Bicultural Identity Integration. BII mengukur kemampuan individu bikultural dalam menerima identitas-identitasnya. Dari BII bisa diketahui, seberapa besar kadar konflik identitas yang satu dengan identitas lain pada individu bikultural. Konflik itu akan memengaruhi kondisi psikologi yang bersangkutan.
Maka, bersama lima temannya, di antaranya psikolog Dr Livia Iskandar yang punya gagasan awal, Tricia ikut membentuk Rumah Indonesia, organisasi nonprofit untuk anak-anak Indonesia, 13 Agustus 2012.
Maya Soetoro-Ng, adik dari Presiden Obama, yang berteman baik dengan Livia, mendukung Rumah Indonesia dalam pengumpulan dana pertama melalui penjualan buku anak-anak karyanya, dengan endorsement khusus.
Merangkul
Rumah Indonesia, yang merangkul semua individu tanpa membedakan suku, agama, golongan dan apa pun. ”Misi kami, menjangkau masyarakat internasional yang berminat pada tradisi dan budaya Indonesia,” kata Tricia.
Rumah Indonesia menjadi salah satu organisasi pendukung American Design Batik Competition 2013 yang diselenggarakan KBRI, dan secara regular menggelar lokakarya batik, wayang, dan dongeng berbahasa Indonesia dari sejumlah daerah di Tanah Air kepada anak-anak.
”Secara perlahan, anak-anak mulai berani berbicara dalam bahasa Indonesia,” ujarnya. ”Ini kerja panjang, hasilnya tidak instan. Kami berharap anak-anak Indonesia di AS menjadi manusia global dengan nilai-nilai dasar Indonesia.”
Begitu antusiasnya dengan kegiatan budaya itu, seminggu di Jakarta ia gunakan untuk menemui teman-teman pendukung Rumah Indonesia dan mencari sponsor untuk program-programnya. ”Sambil mencari angklung lagi, he-he-he.”
(Maria Hartiningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.